Pengantar
Bulan April dimuka nanti, PMII genap berusia setengah
abad. Sebagai organisasi, momentum ‘setengah abad’ itu idealnya tak menjadi
perayaan ceremonial belaka. Momentum itu sebaiknya dikontekskan kedalam refleksi
sejarah pergerakan kita yang begitu panjang dan berliku. Tahun 1960 adalah
penanda deklaratif saja dari kelahiran PMII sebagai organisasi kepemudaan yang
mewakili spirit zamannya (zeits geist).
Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), maka refleksi
pergerakan yang dimaksud adalah juga ‘mikro-history dalam makro-history NU’,
dan itu berarti bertemu dalam ‘grand history Islam Nusantara’.
Dus, merefleksikan pergerakan PMII
bukanlah untuk menyusun kitab kronologi atau roman sejarah yang ‘heroik dan
sentmentil’, namun untuk mengenali konteks dan spirit zaman,
energi hidup yang
turut serta, nilai yang diperjuangkan dalam laku sehari-hari, serta nalar dan
metode pergerakan itu sendiri.
Salah satu ‘subyek materil’ yang menjadi refleksi
keluarga besar PMII adalah paradigma gerakan yang selama ini ‘hidup’ dalam
gerak PMII. Sudah sering sekali kita mendiskusikan paradigma dalam
diskusi-diskusi PMII, dalam kaderisasi formal (sejak Masa Penerimaan Anggota
Baru, Pelatihan Kader Dasar, dan Pelatihan Kader Lanjut) maupun dalam ruang
kaderisasi non-formal dan informal. Dalam catatan kita, ada dua penyebutan yang
disebut sebagai paradigma PMII, yaitu Arus Balik Masyarakat Pinggiran dan Kritis
Transformatif. Dalam rujukan, yang pertama, tak terlalu sibuk dengan konstruksi
teori-teori sosial kritis pun pemikiran Islam progressif, sedang kedua, berada
dalam konstruksi sebaliknya.
Perlu untuk terus mengurai sejarah paradigma di PMII.
Forum PKD kali ini, Maret 2010, adalah ruang kesekian untuk membicarakan
paradigma yang pernah dipakai di PMII. Warga PMII diseluruh Indonesia
membicarakannya sejak rayon hingga PB, dalam diskusi harian hingga rapat-rapat
kongres. Apapun statusnya, gagal atau berhasil, pemikiran tentang paradigma
adalah buah dari zaman dan angkatan yang wajib diapresiasi bagi kita semua
untuk mengenali capaian yang pernah ditempuh. Disitulah kebanggaan sekaligus
kewaspadaan kolektif kita atas sejarah dan masa depan pergerakan organisasi
ini.
Refleksi
Arus Balik :
Sekelumit Catatan
Salah satu metode gerak yang begitu populer dalam rumusan
Arus Balik adalah Free Market Idea’s
(FMI).
FMI adalah metode yang akan menggarap,
Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual
dapat berupa kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka
merumuskan pemikiran public sebagai bagian dari usaha memasarkan ide ke
masyarakat. Kedua, pendelegasian.
Dengan meletakkan kekuasaan sebagai patner, maka kekuasaan bukanlah kemewahan,
sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi kualitatif dapat dimenangkan melalui
kemenangan ide PMII. Ketiga, gerakan
Kritisisme, Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa konsep, namun
gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternative dari segenap kepengapan
dan stagnasi pada wilayah teori maupun praksis.
Jika menyimak tiga wilayah garapan yang dituju oleh FMI
dalam Arus Balik itu, maka sebenarnya sudah disadari beberapa problem fundamental
dalam usaha mendorong perubahan sosial di Indonesia. Agaknya, Arus Balik lebih condong
ke Gramsci ketimbang Marx. Pada wilayah pertama, wilayah tawaran konseptual, lebih
dekat dengan gagasan pertarungan hegemoni, yang berkaitan dengan bagaimana PMII
menjadi produsen dari pemikiran-pemikiran alternatif ditengah atmosfir
intelektual masyarakat Orde Baru. Puncaknya, gagasan-gagasan PMII akan menjadi
gagasan hegemonik : yang memimpin secara intelrktual, moral dan spiritual. Arus
Balik, dalam konsepsinya, tak menganjurkan revolusi sebagaimana Marx. Hal ini
bukan semata karena politik represif Orde Baru terhadap kaum pengikut ‘Mbah
Jenggot’, tetapi sebab fundamental, citra diri komunitas PMII yang berbeda
dengan citra proletar dan refleksi atas gagal revolusi 1928, 1945 dan 1965 yang
dikomandani PKI kala itu.
Kedua, tampaknya Arus Balik sudah menyadari perilaku kekuasaan
dan memberi peringatan bahwa kekuasaan bukanlah (untuk) kemewahan. Kekuasaan
dikelola dalam kerangka menciptakan ‘konsensi-konsesi kualitatif’, dan bukan
dihindari. Sehingga, pengertian negara instrumentalis ala Marx, dimana negara (hanya)
menjadi alat dari kelas-kelas berkuasa yang harus dihancurkan dalam revolusi
proletariat, tak diadopsi dalam Arus Balik. Sayangnya, pengertian ‘konsesi
kualitatif’ disini tak dijabarkan secara jernih dan operasional sehingga bisa
menjadi berbeda dalam praktik dan tujuan gerakan.
Penegasan Citra diri (self
image) komunitas dalam Arus Balik, tergambarkan sebagai berikut ini :
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal
dari perkampungan dan pedesaan dari 27 propinsi Indonesia (kala itu-SA), dengan beragam budaya, suku, etnik
dan ras. Warga PMII sebagian besar dibesarkan dalam suasana santri dengan
kemampuan dasar agama dan semangat tradisionalisme yang tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis
masyarakat dengan posisi politik dan ekonomi yang marginal. Secara
teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya, warga PMII menganut ASWAJA
sebagai ideology dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur
sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Dalam konteks disiplin
keilmuan, masyarakat PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan
ilmu-ilmu Agama dan humaniora. Sementara itu ilmu-ilmu eksakta tidak mendapat
ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara
eksakta dan humaniora.
Barangkali dengan citra diri seperti itu, maka bisa
dimengerti, dalam posisi marginal, kekosongan kaderisasi kaum profesional juga
terjadi, walau bukan berarti tak ada stok itu didaftar kader dan Alumni. Konstruksi
citra diri penting dalam membangun gerakan, karena dengan memaknai citra diri beserta
segenap kompleksitasnya, maka kita juga mengenali batas kemampuan yang dimiliki,
model gerak, serta ruang kemungkinan penciptaan sistem yang sama sekali baru (condition of possibility).
Namun, pada dasarnya, sebagaimana dikatakan Hery Azumi, kedua
paradigma itu memiliki karakteristik yang sama :
pertama,
keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap
otoritarianisme tanpa mengandaikan kompleksitas actor di level nasional yang
selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik-ekonomi
yang terjadi.. kedua, paradigm itu
hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau
laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resistensi tanpa
tujuan, yang penting melawan…ketiga,
pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategy (not strategy-driven paradigm)..
Kritik pertama, bahwa Arus Balik tak cukup awas dalam
memahami kompleksitas aktor nasional dan keterkaitannya dengan perubahan
ditingkat global serta siklus ekonomi dan politik bisa dipahami dalam kerangka
teori ketergantungan. Teori ketergantungan (Dependency
Theory) lahir dari tradisi ilmu sosial Amerika Latin, yang merupakan reaksi
atas kebijakan Industrialisasi Substitusi Import (ISI) dinegara itu. ISI sendiri
berusaha untuk menjadi ekonomi negara-negara di Amerika Latin menjadi modern
dan kompetitif dimana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi ukuran
utama. Dalam perjalanannya, ISI melahirkan otoritarianisme baru disana, dimana
kaum borjuasi, militer serta teknokrat menjadi penyangga utamanya. Pada konteks
inilah, ketergantungan membasiskan kritiknya : kemiskinan yang tak pergi dari masyarakat
dunia ketiga dikarenakan pengintegrasian dirinya kedalam pembagian kerja
internasional yang kapitalistik. Sehingga dalil perdagangan internasional
berdasarkan ‘keunggulan komparatif-nya Ricardo akan menciptakan keseimbangan
dan kemakmuran bangsa-bangsa dunia tak pernah akan nyata dalam praktiknya. Sebagai
contoh solusi keluar dari situasi ini, Andre Gunder Frank, salah satu peletak
dasar teori ini, menganjurkan revolusi untuk memutus belenggu ketergantungan
itu.
Perlu digarisbawahi bahwa teori ketergantungan telah
menjadi school of thought dalam teori
pembangunan. Didalamnya banyak variasi teori dan saling kritik diantaranya
walau kelompok ini membasiskan kritiknya untuk menghajar habis teori
pembangunan modernisasi. Karena itu, jika Arus Balik dikontekskan dalam tradisi
kritik gaya ketergantungan, maka tak terlalu jelas posisi apa yang dianutnya. Yang
agak jelas disini, Arus Balik memahami negara orde baru sebagai jenis negara
yang telah mencapai status otonom, dimana birokrasi dan teknokrasi menjadi
ruhnya. Pengertian ini juga dikenal dalam ulasan-ulasan teori ketergantungan.
Barangkali disinilah, kekurangan dalam mengenali
kompleksitas aktor dan siklus yang menyertainya tak cukup dibaca oleh Arus
Balik. Bubarnya negara orde baru adalah puncak pergerakan, kondisi posta-orde
baru hampir tak diuraikan, contingency
plan jenis apa yang dirumuskan. Namun, bukankah gagal gerakan dinegeri ini,
sejak 1966 hingga 1998, dikarenakan oleh tak dimilikinya desain menyeluruh itu
?.
Kedua, kritik bahwa Arus Balik tak pernah menjadi habitus atau
laku hidup anak-anak PMII. Dengan maksud
lain, paradigma ini, paling jauh singgah sebentar dikepala, tapi tak menjadi
keutuhan diri kader. Dilokus yang lain, Arus Balik masih hidup sampai hari ini
dalam pergerakan PMII. Namun fakta mayoritas mungkin lebih parah dari yang
dimaksud Azumi, karena jika kita meluangkan waktu untuk mendalami Arus Balik
dengan segenap kompleksitas rujukan gagasannya lalu mengkonfrontirnya dalam ‘real
movement PMII’ diseluruh Indonesia, maka kita akan menemukan kondisi berbeda. Alih-alih
memahami isi gagasan dan praktiknya, banyak cabang yang bahkan tidak mengenal
istilah Arus Balik, tidak tahu kalau paradigma ini pernah ada di PMII. Kendala
paling mendasar adalah sistem distribusi pengetahuan yang tidak berjalan baik
dan kendala-kendala sosial-teritorial ditiap lokus yang masih menjadi faktor
penghambat. Artinya, diluar sistem distribusi pengetahuan, kenyataan ditiap
lokus begitu kompleks dan perlu siasat khusus dalam merumuskan pergerakan jenis
apa yang mungkin dilakukan; yang compatibel dengan kebutuhan masyarakat. Singkat
kata, Arus Balik juga melupakan faktor sejarah dan geografi kawasan dalam
merumuskan paradigma.
Ketiga, kritik bahwa paradigma ini tak didorong oleh strategi (not driven by strategy). Sesederhana
apapun, Arus Balik masih punya strategi jangka pendek, sebagaimana tercermin
dalam FMI yang ditumpukan dalam tiga medan gerak diatas. Lebih tepat yang
dimaksud adalah strategi yang berkelanjutan, strategi yang dalam bahasa Azumi :
runtut dalam memperhitungkan faktor-faktor produksi, distribusi dan warring
position. Dalam konteks ini, Arus Balik lalu bisa kategorikan ‘reaksioner’.
Lalu, apa tawaran yang diajukan oleh Menggiring Arus buat
PMII ?.
Menggiring
Arus :
Sekelumit Usaha Untuk Memahami
Menggiring Arus belumlah menjadi paradigma yang
diformalkan di PMII, sebagaimana dua paradigma sebelumnya. Paradigma ini belum
dicatat di AD/ART organisasi. Nama ini dipakai oleh Hery Haryanto Azumi, mantan
ketua umum PB PMII masa khidmat 2006-2008, yang pertama kali di-launching ditengah warga pergerakan
ketika berlangsung kongres Bogor. Hery adalah kader PMII Ciputat, yang berbasis
di UIN Syarif Hidayatullah, cabang yang punya tradisi tua di PMII.
Hery Azumi menganjurkan agar kita mendefinisikan diri
kita (dari PMII, Nahdlatul Ulama, hingga bangsa ini) kedalam gerak sistem
dunia. Dia menukil pandangan sistem dunia itu bahwa :
Dalam sudut pandang world-systemizers, dunia dibagi dalam dua wilayah kerja
(international of labour), yaitu core dan periphery. Dan diantara keduanya
terdapat wilayah transisi (katakanlah wilayah penyangga), yang disebut sebagai semy-periphery. Dilihat dari arus umum
produksi, distribusi dan wilayah perebutannya, maka negara-negara yang
tergolong dalam periphery adalah
penyedia raw materials sekaligus sebagai pasar bagi produksi negara-negara yang
disebut sebagai core.
Sistem Dunia adalah gugus teori yang juga merupakan school of thougt dalam tradisi teori
pembangunan. Teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein yang tergabung
dalam Fernand Braudel di Binghamton University, Inggris. Wallerstein
berkesimpulan bahwa dalam sejarah dunia, hanya ada tiga sistem yang mengglobal,
yaitu sistem mini, sistem imperium dan sistem kapitalisme. Yang pertama hidup
dalam masyarakat tribal, kedua diwujudkan dalam imperium Persia, Mongol, juga
Russia, serta ketiga, sebagaimana terwujud dalam zaman sekarang.
Karena itu, maka sistem dunia membicarakan ‘nasib sebuah
bangsa’ dalam pertarungan interstate system (dalam ruang pergaulan dan
persaingan antar bangsa). Konsekuensi politisnya, eksistensi sebuah pergerakan
adalah dalam pertaruhan bangsanya, bukan pertaruhan kelompok-kelompok.
Posisi bangsa kita berada dalam level periphery, terutama
sejak gelombang kolonialisme awal 1500-an yang ditandai dengan kemunduran
kerajaan Srivijaya, terus Majapahit dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara. Kolonialisme juga merupakan buah atau dark side dari modernisasi yang mulai memasuki masa emasnya sejak
1600-an di Barat. Teknologi pelayaran dan maritim serta militer berkembang
pesat disertai sistem ekonomi yang bergeser dari merkantilisme ke kapitalisme. Lalu,
berdatanganlah bangsa-bangsa Barat itu keseluruh penjuru Nusantara untuk
membangun wilayah pengaruh, misi keagamaan, dan kuasa ekonomi. Sejak saat itu,
tak ada lagi ‘Amukti Palapa jilid II’, sebagaimana Amukti Palapa jilid I-nya
Mahapatih Gadjah Mada dulu.
Dus, kita terus saja menjadi bangsa penyedia bahan mentah (raw material’s) yang diperebutkan,
sebagai produsen bahan baku maupun pasar komoditi negeri-negeri diatas angin
itu (baca : Barat). Posisi politis negara tak lagi jumawa dan perkasa seperti
era pembangunanisme, hari ini adalah masa emas korporasi. Sumberdaya
pertambangan, air, hingga pelayanan publik takluk dalam pengkondisian
korporasi. Hal ini yang dijelaskan dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi dan
statistik kemiskinan dan jarang mengurai relasi aktor dan penguasaan dibalik
statistik-statistik itu.
Dalam kondisi yang demikian, maka Azumi menawarkan apa
yang disebutnya sebagai paradigma berbasis kenyataan (reality-based paradigm). Paradigma berbasis kenyataan adalah paradigma
yang memadukan sejarah sebagai bahan penyusun dan kenyataan hari ini. Model
paradigm berbasis kenyataan di Indonesia telah lama ditinggalkan, terutama
sejak wafatnya Tan Malaka. Bisa dikata, sejarah adalah bahan baku yang menyusun
paradigma, bukan semata ‘kisah masa lalu’, namun energi yang hidup dan
membentuk masa kini, dimana dalam masa kini inilah, kita bertaruh akan masa
depan.
Terkait model gerak, dengan mengadopsi
pembagian Wallerstein, Azumi berpendapat sudah tidak tepat PMII mengambil jalan
paradigm anti-systemic, yang fokus untuk membalik dan menghancurkan arus
global. Bagi Azumi, jenis gerakan ini adalah wujud dari mentalitas xenophobia, serba anti dengan orang
asing. Anti-systemic movement akan
mengakibatkan kita tak mampu mengambil pertukaran dan interaksi sosial yang
bisa berdampak positif terhadap kebutuhan pergerakan kita. Bahkan, yang paling
fatal, dapat terpeleset menjadi
korban.
Sedangkan jika mengambil jalan systemic movement tanpa sikap kritis yang
aktif hanya akan menjadikan kita sebagai marsose.
Yaitu pergerakan yang dengan sukarela, bahkan tak jarang disertai kebanggaan,
untuk melayani maunya bangsa asing. Sesudah itu, kita dihinggapi perasaan
sedang naik kelas. Ujungnya, kita hanya akan memperkuat sistem yang sedang berjalan
dan menumbalkan bangsa ini.
Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan kader-kader
HMI-MPO disekitar tahun 2008 silam, kami pernah menguraikan pendekatan kritik
sosiologi atas dunia hari ini sebagai berikut :
George Ritzer, yang terkenal dengan tesis Mcdonaldization
of Sciety (1999), dalam karya terbarunya Globalization of Nothing (2006)
memperkenalkan satu istilah yang disebutnya dengan grobalisasi. Grobalisasi
merupakan kombinasi dari kata growth
(Inggris) yang bermakna pertumbuhan, global (mondial) yang bermakna dunia dan
akhiran ‘sasi’ yang menjelaskan ‘proses’. Grobalisasi menunjuk pada proses
pertumbuhan dan penyebaran mesin ekonomi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia
yang mengintegrasikan kawasan-kawasan, negara-bangsa, ke dalam sistem pasar tunggal.
Grobalisasi, sebagaimana telah diperingatkan Marx jauh sebelumnya, menegaskan
daya produksi dan penghancuran kreatif (creative
destruction) sebagai mode produksi ekonomi yang menghancurkan moda produksi
pendahulunya (komune primitif, perbudakan dan feodal). Dalam proses yang sama,
selain kapitalisme, grobalisasi digerakan oleh Amerikanisme dan
‘prinsip-prinsip mcdonaldization of society’ yang terus meluas dan berkembang
melintasi batas negara dan kawasan. Sebagaimana diulas Ivan Hadar (2002),
Amerikanisme,yang mencerminkan nilai-nilai amerika, terutama gaya hidup dan
kebiasaan, kini telah berkembang menjadi ‘sistem nilai’ sentral dari kampanye
AS dengan ‘war againts terorism’.
Untuk konteks Global
War Againts Terorism-nya Bush, dalam artikel yang sama dengan kutipan
diatas, kami berpendapat :
Bagi George W.Bush dan kaum Hawkish, seperi Donald
Rumsfeld, Paul Wolfowitz, juga Condo Rice, segala gerakan yang menetang
nilai-nilai amerika adalah gerakan teror !!. Dengan begitu, aktifitas
pergerakan yang disebut teroris tak lagi sebatas gerakan yang mengeksploitasi
simbol-simbol agama sebagai spirit dan orientasi gerakan, sebagaimana Bin
Ladin, JI, ataupun Hammas. Terorisme dalam sudut pandang kaum Hawkish Amerika,
juga berupa gerakan kebangkitan kaum pribumi bersenjata (indigenous people movement) sebagaimana Zapatista di Meksiko, atau
pemerintahan nasional berdaulat yang secara terbuka menyerang kepentingan AS
seperti Iran.
Dunia hari ini jelas tidak berjalan dalam satu kendali
blok (ideologi, ekonomi dan militer). Sejak bubarnya Soviet ditahun 1980-an,
yang menandai berakhirnya bipolarisme global, Amerika Serikat sempat jumawa,
namun itu tak lama. Perlahan namun pasti China menyalip laju Amerika dan Russia
baru muncul dibawah Vladimir Putin dan geng Siloviki-nya.
Lembaga think-thank
Goldman Sachs (Kompas, 19/06/09, suplemen Fokus) di Amerika Serikat, meramalkan dibilangan tahun 2027,
pertumbuhan ekonomi China akan menyalip AS, dan ditahun 2050, India yang akan
menyamai AS. Selain itu, masih menurut Goldman Sachs, ada sebelas negara lagi
(N-11), yakni Indonesia, Mesir, Iran, Korsel, Meksiko, Nigeria, Pakistan,
Bangladesh, Turki, Vietnam, dan Filipina yang akan tumbuh pesat sebagai
kekuatan ekonomi baru dunia menggeser dominasi G-8 pada tahun 2050-an keatas.
Perkembangan ini masih ditambah lagi geliat perlawanan terbuka (open resistance) terhadap ‘imperium
pasar bebas Amerika Serikat di NAFTA’ yang dibangun poros
Brazil-Kuba-Venezuela-Bolivia di Amerika Selatan lewat poros Mercosur. Tegaslah
bahwa perkembangan dunia sekarang makin menegaskan gerak dunia yang
multi-kutub.
Terhadap kawasan Asia-Pasifik, Amerika dan China sedang
bertarung memperkukuh kendali ekonominya. Amerika mengembangkan blok kerjasama
yang disebut Trans Pacific Patnership
(TPP) sedang China hadir dengan China-Asean
Free Trade Area (CA-FTA). Sebenarnya, jika sedikit mengurai lagi sejarah
perdagangan dikawasan Asia Tenggara, hubungan China dan kawasan ini sudah
berlangsung berabad-abad. Demikian juga interaksi ekonomi Asia Tenggara dengan
Amerika Tengah (Acapulco, Meksiko), yang dipelopori oleh pelaut-pelaut Spanyol lewat
Manila kala itu. Yang menjadi soal sekarang adalah, sejauhmana Asia Tenggara
diuntungkan dengan kerjasama perdagangan ini.
Lalu, bertumpu pada pada kompleksitas diatas, pilihan apa
yang ideal ditempuh PMII ? Azumi menganjurkan kita mencoba model non-systemic movement yang
di-pribumisasi-nya dengan istilah Menggiring Arus, yaitu model pergerakan yang :
Berjalan didalam
system yang tengah beroperasi tetapi tidak bekerja untuk untuk system
tersebut sambil menciptakan condition of
possibilities untuk membangun system yang sama sekali berbeda..
Untuk menciptakan ‘kondisi bagi kelahiran sistem yang
baru itu’, tak cukup lagi berjalan dengan model single front, sebagaimana tercermin dalam riwayat pergerakan selama
ini. Single front yang dimaksud bukan
dalam pengertian ‘tanpa koalisi’, tetapi lebih pada produksi, distribusi dan
warring position diluar pengertian yang ekonomistik. Dalam kebutuhan di PMII,
maka kaderisasi menjadi kunci yang harus terus diperbaiki secara kualitatif
guna menciptakan stok kader yang memiliki multi-kapasitas dan mampu bertarung
dalam kondisi multi medan tanpa harus berkembang menjadi saling mangsa dan
saling membinasakan.
Wawasan dan cara padang geo-strategi (geo-ekonomi dan
geo-politik) sangat dibutuhkan dalam konteks dunia yang demikian. Khususnya
untuk mengenali sejarah, kompleksitas aktor, set of interest, dan manuver dan rumusan permainan yang
menghubungkan negara-negara menurut kontur geografi dan peta perebutan sumberdaya
alam. Dalam percapakan geopolitik, dunia hari ini sedang menyepakati ‘the great
game’ yang mengambil medannya diwilayah Eurasia (irisan Eropa dan Asia), dimana
bertumpu pada perebutan energi disekitar wilayah teluk (Gulf Area’s). Dikawasan ini, semua negara maju bertarung kepentingan,
baik yang mewarisi semangat Anglo-Saxon (UKUSA), semangat imperium ala Shanghai
Five (SCO), pun persatuan Eropa Lama gaya (MEE). Karena itu, isu teroris, HAM,
dan demokrasi akan terus menghajar masyarakat Islam.
Terkait dinamika kontemporer, pada sebuah kesempatan,
kami pernah menulis, potret perkembangan kader PMII hari ini telah jauh berbeda
dengan yang digambarkan Arus Balik :
Salah satu gejala yang berkembang ditubuh PMII adalah
pola gerak yang membawa PMII untuk terus eksis dan meninggalkan gerbong jamaah
besar Nahdliyin. Kultur Hibrida yang berkembang di PMII, atau anak muda NU pada
umumnya, mesti diakui sebagai buah dari penerapan strategy Free Market Idea’s (FMI) yang membuka ruang-ruang baru bagi
perburuan wacana, gagasan, dan pemikiran-pemikiran baru dan menjadi ikon dalam
dunia pemikiran anak muda di Indonesia. Akan tetapi, semangat perburuan
intelektualisme itu, dalam beberapa segi justru menafikan eksistensi dan
warisan tradisi pemikiran yang tumbuh didalam kultur Nahdlatul Ulama (NU),
kalau bukan malah menyerang NU dengan stigmatisasi yang juga digunakan oleh
para orientalis (Indonesianis) seperi : tradisionalis, kolot, TBC, dll. Walau
gejala seperti ini bisa dipahami sebagai bagian dari proses internal warga
Nahdliyin—sebagaimana juga ‘arus wacana yang membela NU’ sedang marak
berkembang—PMII belum merumuskan model desaign yang operationalable juga kompatibel dengan gerak besar NU. Sejauh ini
PMII baru tiba pada sikap-sikap normatif-deklaratif, seperti dalam
deklarasi-deklarasi, rumusan konstitusi, dan lain-lain.
Jika potret seperti ini bisa digunakan sebagai rujukan melihat
perkembangan kader-kader PMII, maka menciptakan kader yang multi-talenta adalah
kebutuhan yang harus diperjuangkan tanpa harus membuang total capaian-capaian pergerakan
sebelumnya. Kita masih harus meminjam kaidah fiqih yang sering diingatkan oleh
ulama-ulama NU : ‘ Mukhafadzah ‘ala
alQadim asShalih wa akhdzu bi alJadid alAslah’ yang bermakna memelihara
sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dalam hemat kami, Menggiring Arus jika dijadikan sebagai
model, maka nalar paradigma ini berkehendak untuk menghimpun seluruh sumberdaya
dan energi pergerakan, dari level politik hingga sosial, struktur dan kultur, atas-bawah-kanan-kiri
kedalam satu operasi yang by-design saling
menguatkan, bukan saling mengamputasi. Dus,
definisi kelompok yang dimaksud adalah dalam batasan aktor semata-mata, bukan
sebagai tujuan yang tidak diabdikan terhadap komunitas yang lebih besar diluar
dirinya. Perbaikan kehidupan bangsa adalah capaian tertinggi sebuah pergerakan.
Kalau ini yang dipakai, maka pengertian kelompok yang diacu lebih mewakili
jenis vanguard, bukan jenis yang elit.
Vanguard adalah kelompok yang bekerja merintis jalan bagi
lahirnya masyarakat baru, bukan menjadi kelompok yang menikmati puncak-puncak
kuasa politik dan kekayaan material lalu melupakan asal-usul dan meninggalkan
bangsanya dalam kubangan kemelaratan. Disinilah titik tegang yang akan dijumpai
jika pergerakan kita telah mampu naik level dalam penciptaan sistem masyarakat
yang baru.
Penutup
Masih banyak pertanyaan yang mengendap dalam benak kita, diantaranya
: pertama, bukan saja soal uraian
tentang paradigma di PMII, tetapi juga koherensinya dengan NDP dan Aswaja
sebagai manhajul fikri PMII agar kita
menemukan ‘keutuhan wawasan dan keutuhan citra diri’. Kedua, bagaimanakah memahami Menggiring Arus, atau jika dipandang
perlu, merevisi paradigma ini, lalu menerapkannya kedalam local front kita masing-masing. Wallahualam
bi shawab.
Subronto Aji