Sudah tidak diragukan lagi bahwa
pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan.
Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar
biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren
mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang
dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen,
termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis
dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus
didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan
pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang
tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab
internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius
dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan
peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah
strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara.
Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan
nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit
moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih
bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada
pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu,
pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan
Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional
memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus
pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3)
Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan
pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.
Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu: 1)
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang
bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat
yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas
masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia
dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia.
Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita
lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang
Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah
berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama
menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan
tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren.
Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan
dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan
nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi
dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban
Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan
serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan
diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi
oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis
pendidikan yang concern di bidang keagamaan.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana
pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata
banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan
nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki
skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para
santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat
dalam Pasal 26 yang menegaskan:
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional
serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan
bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam
pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54
menjelaskan:
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui
keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah
daerah. Pasal 55 menegaskan:
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional
memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya
jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan
meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah
telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga
sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu:
1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan,
2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan
3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan
pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan
berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan
tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau
terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional
memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
diskusi sejarah NKK/BKK
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar