Pages

Selasa, 11 Februari 2014

Moneterisme dan Pengekenduran Nilai-Nilai Lokal

Saya mencoba merangkul dalam bentuk tulisan hasil refleksi dengan mengangkat tema ‘’moneterisme dan pengkenduran nilai-nilai lokal. Tulisan ini merupakan bentuk pembacaan konteks sosial lewat interaksi dan penafsiran tanda (semiotic) yang menjadi bahasa individual maupun masyarakat lewat ritus-ritus budaya yang hidup dalam masyarakat.
Di tanah tempat saya berpijak saat ini, banyak hal yang baru saya pelajari sebagai upaya untuk memahami karakter apa sesungguhnya yang terpendam dalam masyarakat, dan mencoba menciptakan perbandingn dengan masa lalu, ditempat berbeda, dan sekaligus menilai dari gagaan-gagasan yang ideal.
Foto: Moneterisme dan Pengekenduran Nilai-Nilai Lokal

Moneterisme adalah media dasar interaksi untuk membatasi ruang lingkup dari sistem kapitalisme, moneterisme merupakan landasan untuk melihat secara historis dan kenyataan rill dari kapitalisme termasuk bagaimana proses tersebut bekerja dalam masyarakat.

Baca yah di http://goo.gl/dem9qH
Hidup di desa selama ini sebenarnya adalah impian, dibesarkan oleh alam di desa membuat saya mengenal betul bahwa desa adalah surga dunia, hamparan sawah yang sejuk dan yang paling substansial adalah komunalisme masyarakat yang kuat menjadikan interaksi menjadi hidup, saya masih meyakini kalau komunalisme sesungguhnya kodrat hakiki dari masyarakat di manapun di belahan dunia ini. Itu pula sebabnya terdampar disebuah pelosok ujung tanah sumatera adalah pilihan sekaligus ketetapan akal dan hati untuk mencari secercah cahaya dari gelapnya kehidupan kapitalisme perkotaan. Setumpuk harapan, secuil gagasan menjadi bekal, berjalan dengan harapan yang meledak-ledak, ditemani bayangan diri tanpa kawan, dengan harapan dapat bersembunyi dari bayang-bayang kapitalisme perkotaan.
Meninggalkan ruang ‘’belajar’’, dengan harapan ingin ber-Guru pada kehidupan adalah satu-satunya pijakan, ingin mengenal banyak kehidupan, mengenal banyak masyarakat dari sekadar berinteraksi dengan tumpukan kertas dan buku. Ternyata pada faktanya, realitas telah banyak memutar balikkan asumsi-asumsi yang selama ini dipahami, yang selama ini dijadikan pijakan analisis maupun pijakan nilai. Tembok tebal sebuah gedung kampus, betul-betul memisahkan pengetahuan kampus dari kehidupan sesungguhnya, imbuhku. Tumpukan kertas yang dijilid dalam satu kesatuan buku sebenarnya hanyalah permukaan kecil dari sejuta realitas diluar pinggir buku (realitas luar). Memang benar, manusia tidak akan pernah menuliskan pengalaman substansial dari kehidupan, banyak hal yang penting justru tidak tertulis dalam buku, itulah kenyataannya. Bahkan kalau tidak salah kenyataan dalam buku bahkan kadang berkontradiksi dengan kenyaataan alam yang sesungguhnya.
Banyak hal dan pengalaman yang tidak dapat saya ceritakan satu persatu, intinya semakin berinteraksi dengan realitas semakin kuat keyakinan bahwa komunalisme yang muncul dalam benak ternyata hanya ada dalam lebaran-lembaran sejarah-sejarah lokal masa lampau, hanya ada dalam petuah-petuah nenek moyang, seolah sebuah ‘’kutukan’’ hidup dan lahir di zaman modernisme hari ini.  Bagaimana kapitalisme hadir tidak hanya diperkotaan tetapi juga di pedesaan yang jauh dari ritus kota, wajah kapitalisme pedesaan yang keras tetapi bekerja secara tidak kasar. Bergerak dalam ritus-ritus budaya yang ditopang oleh otoritas agama sebagai kepercayaan tempat langgengnya kapitalisme dengan wajah yang sedikit terlihat saleh meski memendam karakter menghisap. Semakin menyadari bahwa gagasan-gagasan moral yang hakiki hanyalah konsep yang hidup dalam pinggir-pinggir buku, eksist dalam ide sebagai sebuah gagasan tapi menghilang tanpa jejak dalam kenyataan. Sebuah nilai yang hinggap di keramaian-keramaian kampus akibat tersumbatnya nalar untuk melihat kenyataan diluar. Jauh panggang dari api, jauh konsep dari kenyataan adalah realitas sesungguhnya.
Selama ini kita terlalu berambsisi secara intelektual untuk melihat kapitalisme secara global, identik dengan perusahaan-perusahaan besar yang mengkapling tanah rakyat dari sebuah pergolakan perebutan status tanah, kenyataan yang nampak bagaimana keberadaan kelas borjuasi dengan kasat mata menghisap kelas proletar. Tetapi sesungguhnya kita menafikan bahwa hakikat kapitalisme sesungguhnya ada pada interaksi sosial yang terbangun menjadi sebuah sistem bahkan menjadi kepercayaan sosial masyarakat atau istilah saya telah menjadi berhala sosial dalam masyarakat. Proses sosial kapitalisme tidak hadir secara natural, sebab kelas sosial muncul sebagai bentuk percaturan dan pencaplokan faktor produksi secara dominasi, hingga penundukan secara paksa. Pada kenyataannya tetap saja bahwa kapitalisme lahir dari grassroot, kalangan proletar hingga menggurita dalam konteks global lewat birokratisasi kekuasaan ke berbagai segmen, lewat daur ulang kelas sosial yang terjadi. Proses ini muncul lewat dominasi, kekerasan hingga penguasaan sampai tercipta struktur politik yang hadir untuk memapankan pencapaian kelas tersebut.
Moneterisme adalah media dasar interaksi untuk membatasi ruang lingkup dari sistem kapitalisme, moneterisme merupakan landasan untuk melihat secara historis dan kenyataan rill dari kapitalisme termasuk bagaimana proses tersebut bekerja dalam masyarakat. Uang yang selama ini dipahami sebagai alat tukar simbol peradaban manusia, dengan menempatkan penghakiman tak berdasar bahwa zaman barter adalah zaman primitif, ternyata merupakan sebuah fatalisme dari kecelakaan sejarah yang fatal, lahan lembab yang subur yang menjadi rahim hidup dan berkembangnya kapitalisme secara menggurita. Dan inornisnya pemberhalaan moneter sebagai media berlangsungnya interaksi sosial dan interaksi dalam ritus-ritus budaya dalam masyarakat justru telah hadir dalam masyarakat desa yang selama ini selalu kita sucikan dari noda-noda kapitalisme sebab kapitalisme selalu dipandang dari sudut global.
Disepanjang jalan desa, bertebaran dari jejak langkah gudang-gudang yang bekerja bagai mesin yang mereproduksi pergeseran sistem sosial tersebut, masyarakat proletar adalah sekrup-sekrup kapitalisme itu sendiri, yang pada posisinya tanpa sadar, menganggap kenyataan kendurnya nilai-nilai komunal lokal adalah kewajaran, meskipun pada dasarnya masyarakat sendiri adalah akibat dari keganasan kapitalisme yang dipaksa menjadi sekrup kapitalisme itu sendiri. Pergeseran ini cukup massif terjadi, kalau dulu sebagai bentuk hidupnya kodrat masyarakat, menerima ‘’imbalan’’ misalnya atas ‘’kebaikan’’ adalah hal yang tabu bagi masyarakat kalau bukan hal yang ‘’rendah’’, terjadi penggunjingan sosial hingga pengucilan sosial sebagai sebuah ketidakwajaran bahkan secara tidak langsung penggunjingan ini muncul karena dianggap melanggar nilai-nilai komunalisme masyarakat, tetapi untuk konteks sekarang hal tersebut dipersepsi lagi sebagai kewajaran. Nilai-nilai yang abstrak hanyalah  supratruktur dari nilai-nilai yang rill sebagai basic struktur. Faktor produksi dan perangkat ekonomi sangat nampak sebagai basic sturktur, ini adalah sebuah pergeseran drastis dari ‘’kesadaran nilai’’ yang sebelumnya menjadi basic struktur masyarakat hingga menjadi faktor produksi.
Itu pula sebabnya batas kelas-kelas sosial semakin kabur dan tak tampak secara rill, penghisapan merembes melampau batas-batas kelas yang sebelumnya hanya berada dalam wilayah borjuasi-proletar. Muncul pencaplokan identitas ganda dalam kelas yakni proletar sekaligus borjuis, proletar yang menghisap pada borjuasi sehingga menempatkan diri sebagai borjuis itu sendiri, dan borjuis bertindak proletar secara temporer dan insendentil untuk mempertahankan status keentingan borjuasinya.
Dalam konteks lain muncul kelas agamawan sebagai kelas sosial yang mengambil peran baru yang mencoba memperantarai dua kelas sosial yang berbeda, mencoba menghilangkan dan menekan kesadaran kelas agar tidak hidup, atas nama harmonisasi sosial, meski pada dasarnya dominan justru ikut mempertahankan penindasan sosial, sebab pada dasarnya kelas sosial ini (baca: kelas agamawan) sesungguhnya lebih banyak bertaklid dan takluk dibawa bayang-bayang borjuasi dari ketimbang merepresentasikan kepentingan kelas proletar. Upaya dalam membangun optimisme masyarakat justru menciptakan pengkaburan persepsi akan kenyataan, seolah realitas dalam keadaan baik-baik saja dengan menafikan kehidupan tercekik dan saling mencekik sebagai kenyataan.
Analisa saya dalam masyarakat desa di beberapa kampung di bumi ujung sumatera ini, Setidaknya ada 3 konflik yang muncul yang pertama yang menjadi hakikat adalah konflik kelas, tetapi dalam masyarakat disini keberadaan otoritas agama yang sangat kuat maka konflik kelas yang tertekan kebawah oleh otoritas agama justru meletup kesamping secara horizontal. Maka luapan konflik justru bergeser secara horizontal berbenturan dengan primordial maka tipologi horizontalnya muncul secara rasis yang menemukan titik pada isu pribumi versus pendatang, sebuah konflik yang direkayasa, diorganisir dan diolah oleh elit-elit politik lokal untuk mendaur kepentingan perebutan kekuasaan yang hakikatnya adalah ladang-ladang ekonomi, dalam artian ladang-ladang ekonomilah yang bertemu dengan ambisi kekuasaan yang menjadi cikal bakal terbentuknya partai politik yang bekerja lewat kekuasaan sebagai alat untuk mengendalikan dan menguasai faktor produksi. Sebab diolah oleh elit politik, tidak heran ketika isu separatisme secara politik pernah meledak dan masih menjadi gagasan utopis kelas proletar ditingkat bawah, meski sebagian darinya yang menyandang kepemilikan (baca: kelas borjuasi) hari ini telah lenggang-lenggong dengan kursi kekuasaannya sekarang sebagai the roling party (partai berkuasa), proletar tetap saja proletar meski berada dalam naungan partai yang sama, sekali lagi proletar tetap saja proletar.
Proses pengkeduran nilai-nilai lokal ternyata memiliki keuntungan tersendiri bagi para pemburu kekuasaan untuk menciptakan fragmentasi masyarakat di tingkat bawah lewat janji-janji politik yang tak terukur. Masyarakat telah digiring dalam sebuah sistem sosial baru lewat kebijakan-kebijakan politik yang arahnya adalah bagaimana membutakan masyarakat untuk memahami sejarah-sejarah komunalisme lokal yang pernah hidup, sejarah yang diperdengarkan yang merupakan domain produk kekuasaan hanyalah sejarah-sejarah yang mengupas sisi personal ketokohan yang menggambarkan kepatuhan rakyat dihadapan pemimpinnya, seolah pengkultusan yang berlebihan, upaya menggiring masyarakat untuk menerima kenyataan untuk saling menghisap di tingkat proletar sebagai sebuah kenyataan yang harus ditelan secara mentah. Lewat otoritas agama mampu mengalihkan pandangan bukan hanya bagi masyarakat awam tapi juga menyesatkan kaum yang berpendidikan untuk memahami persoalan yang sesungguhnya lewat isu-isu yang tidak substansial seperti hadirnya polisi celana ketat, yang hanya bertugas untuk memeriksa tingkat ke-ketat-an celana rakyatnya, tapi lumpuh untuk memeriksa besarnya kantong tuannya karena uang rakyat yang terselip.
Teringat dikala senja siang di sebuah lobi tempat duduk disamping sawah dekat gubuk warga, duduk melepas kesunyian sambil mendengar cekikan lansia di rumah Tuhan pertanda waktu penyembah untuk menyembah, segelas kopi pahit meyambut, dalam gelas tidak terdapat tanda merek kopi yang ada hanya label harga yang besar bertulis tinta merah, mengingatkanku pada batu nisan. Sambil membayangkan dan berangan-angan akan sebuah sistem sosial baru, yakni sistem sosial tanpa harga, sistem sosial yang berpijak pada kesadaran nilai lokal yang sejati.
Kita harus ‘’membunuh’’ (maaf bukan fisik) masyarakat hari ini untuk menciptakan masyarakat yang baru. Bukankah kelahiran, lahir karena kematian, keduanya adalah siklus hidup untuk menggambarkan bagaimana seharusnya hukum-hukum sejarah dikendalikan. Tarian shiva dalam ajaran hindu menggambarkan kenyataan ‘’membunuh’’ oleh dewa sebagai musabab lahirnya kehidupan sebagai sebuah tarian kosmik.

0 komentar:

Posting Komentar