Saya mencoba merangkul dalam bentuk
tulisan hasil refleksi dengan mengangkat tema ‘’moneterisme dan
pengkenduran nilai-nilai lokal. Tulisan ini merupakan bentuk pembacaan
konteks sosial lewat interaksi dan penafsiran tanda (semiotic) yang
menjadi bahasa individual maupun masyarakat lewat ritus-ritus budaya
yang hidup dalam masyarakat.
Di tanah tempat saya berpijak saat ini,
banyak hal yang baru saya pelajari sebagai upaya untuk memahami karakter
apa sesungguhnya yang terpendam dalam masyarakat, dan mencoba
menciptakan perbandingn dengan masa lalu, ditempat berbeda, dan
sekaligus menilai dari gagaan-gagasan yang ideal.
Hidup di desa selama ini sebenarnya
adalah impian, dibesarkan oleh alam di desa membuat saya mengenal betul
bahwa desa adalah surga dunia, hamparan sawah yang sejuk dan yang paling
substansial adalah komunalisme masyarakat yang kuat menjadikan
interaksi menjadi hidup, saya masih meyakini kalau komunalisme
sesungguhnya kodrat hakiki dari masyarakat di manapun di belahan dunia
ini. Itu pula sebabnya terdampar disebuah pelosok ujung tanah sumatera
adalah pilihan sekaligus ketetapan akal dan hati untuk mencari secercah
cahaya dari gelapnya kehidupan kapitalisme perkotaan. Setumpuk harapan,
secuil gagasan menjadi bekal, berjalan dengan harapan yang
meledak-ledak, ditemani bayangan diri tanpa kawan, dengan harapan dapat
bersembunyi dari bayang-bayang kapitalisme perkotaan.
Meninggalkan ruang ‘’belajar’’, dengan
harapan ingin ber-Guru pada kehidupan adalah satu-satunya pijakan, ingin
mengenal banyak kehidupan, mengenal banyak masyarakat dari sekadar
berinteraksi dengan tumpukan kertas dan buku. Ternyata pada faktanya,
realitas telah banyak memutar balikkan asumsi-asumsi yang selama ini
dipahami, yang selama ini dijadikan pijakan analisis maupun pijakan
nilai. Tembok tebal sebuah gedung kampus, betul-betul memisahkan
pengetahuan kampus dari kehidupan sesungguhnya, imbuhku. Tumpukan kertas
yang dijilid dalam satu kesatuan buku sebenarnya hanyalah permukaan
kecil dari sejuta realitas diluar pinggir buku (realitas luar). Memang
benar, manusia tidak akan pernah menuliskan pengalaman substansial dari
kehidupan, banyak hal yang penting justru tidak tertulis dalam buku,
itulah kenyataannya. Bahkan kalau tidak salah kenyataan dalam buku
bahkan kadang berkontradiksi dengan kenyaataan alam yang sesungguhnya.
Banyak hal dan pengalaman yang tidak
dapat saya ceritakan satu persatu, intinya semakin berinteraksi dengan
realitas semakin kuat keyakinan bahwa komunalisme yang muncul dalam
benak ternyata hanya ada dalam lebaran-lembaran sejarah-sejarah lokal
masa lampau, hanya ada dalam petuah-petuah nenek moyang, seolah sebuah
‘’kutukan’’ hidup dan lahir di zaman modernisme hari ini. Bagaimana
kapitalisme hadir tidak hanya diperkotaan tetapi juga di pedesaan yang
jauh dari ritus kota, wajah kapitalisme pedesaan yang keras tetapi
bekerja secara tidak kasar. Bergerak dalam ritus-ritus budaya yang
ditopang oleh otoritas agama sebagai kepercayaan tempat langgengnya
kapitalisme dengan wajah yang sedikit terlihat saleh meski memendam
karakter menghisap. Semakin menyadari bahwa gagasan-gagasan moral yang
hakiki hanyalah konsep yang hidup dalam pinggir-pinggir buku, eksist
dalam ide sebagai sebuah gagasan tapi menghilang tanpa jejak dalam
kenyataan. Sebuah nilai yang hinggap di keramaian-keramaian kampus
akibat tersumbatnya nalar untuk melihat kenyataan diluar. Jauh panggang
dari api, jauh konsep dari kenyataan adalah realitas sesungguhnya.
Selama ini kita terlalu berambsisi
secara intelektual untuk melihat kapitalisme secara global, identik
dengan perusahaan-perusahaan besar yang mengkapling tanah rakyat dari
sebuah pergolakan perebutan status tanah, kenyataan yang nampak
bagaimana keberadaan kelas borjuasi dengan kasat mata menghisap kelas
proletar. Tetapi sesungguhnya kita menafikan bahwa hakikat kapitalisme
sesungguhnya ada pada interaksi sosial yang terbangun menjadi sebuah
sistem bahkan menjadi kepercayaan sosial masyarakat atau istilah saya
telah menjadi berhala sosial dalam masyarakat. Proses sosial kapitalisme
tidak hadir secara natural, sebab kelas sosial muncul sebagai bentuk
percaturan dan pencaplokan faktor produksi secara dominasi, hingga
penundukan secara paksa. Pada kenyataannya tetap saja bahwa kapitalisme
lahir dari grassroot, kalangan proletar hingga menggurita dalam
konteks global lewat birokratisasi kekuasaan ke berbagai segmen, lewat
daur ulang kelas sosial yang terjadi. Proses ini muncul lewat dominasi,
kekerasan hingga penguasaan sampai tercipta struktur politik yang hadir
untuk memapankan pencapaian kelas tersebut.
Moneterisme adalah media dasar interaksi
untuk membatasi ruang lingkup dari sistem kapitalisme, moneterisme
merupakan landasan untuk melihat secara historis dan kenyataan rill dari
kapitalisme termasuk bagaimana proses tersebut bekerja dalam
masyarakat. Uang yang selama ini dipahami sebagai alat tukar simbol
peradaban manusia, dengan menempatkan penghakiman tak berdasar bahwa
zaman barter adalah zaman primitif, ternyata merupakan sebuah fatalisme
dari kecelakaan sejarah yang fatal, lahan lembab yang subur yang menjadi
rahim hidup dan berkembangnya kapitalisme secara menggurita. Dan
inornisnya pemberhalaan moneter sebagai media berlangsungnya interaksi
sosial dan interaksi dalam ritus-ritus budaya dalam masyarakat justru
telah hadir dalam masyarakat desa yang selama ini selalu kita sucikan
dari noda-noda kapitalisme sebab kapitalisme selalu dipandang dari sudut
global.
Disepanjang jalan desa, bertebaran dari
jejak langkah gudang-gudang yang bekerja bagai mesin yang mereproduksi
pergeseran sistem sosial tersebut, masyarakat proletar adalah
sekrup-sekrup kapitalisme itu sendiri, yang pada posisinya tanpa sadar,
menganggap kenyataan kendurnya nilai-nilai komunal lokal adalah
kewajaran, meskipun pada dasarnya masyarakat sendiri adalah akibat dari
keganasan kapitalisme yang dipaksa menjadi sekrup kapitalisme itu
sendiri. Pergeseran ini cukup massif terjadi, kalau dulu sebagai bentuk
hidupnya kodrat masyarakat, menerima ‘’imbalan’’ misalnya atas
‘’kebaikan’’ adalah hal yang tabu bagi masyarakat kalau bukan hal yang
‘’rendah’’, terjadi penggunjingan sosial hingga pengucilan sosial
sebagai sebuah ketidakwajaran bahkan secara tidak langsung penggunjingan
ini muncul karena dianggap melanggar nilai-nilai komunalisme
masyarakat, tetapi untuk konteks sekarang hal tersebut dipersepsi lagi
sebagai kewajaran. Nilai-nilai yang abstrak hanyalah supratruktur dari
nilai-nilai yang rill sebagai basic struktur. Faktor produksi dan
perangkat ekonomi sangat nampak sebagai basic sturktur, ini adalah
sebuah pergeseran drastis dari ‘’kesadaran nilai’’ yang sebelumnya
menjadi basic struktur masyarakat hingga menjadi faktor produksi.
Itu pula sebabnya batas kelas-kelas
sosial semakin kabur dan tak tampak secara rill, penghisapan merembes
melampau batas-batas kelas yang sebelumnya hanya berada dalam wilayah
borjuasi-proletar. Muncul pencaplokan identitas ganda dalam kelas yakni
proletar sekaligus borjuis, proletar yang menghisap pada borjuasi
sehingga menempatkan diri sebagai borjuis itu sendiri, dan borjuis
bertindak proletar secara temporer dan insendentil untuk mempertahankan
status keentingan borjuasinya.
Dalam konteks lain muncul kelas agamawan
sebagai kelas sosial yang mengambil peran baru yang mencoba
memperantarai dua kelas sosial yang berbeda, mencoba menghilangkan dan
menekan kesadaran kelas agar tidak hidup, atas nama harmonisasi sosial,
meski pada dasarnya dominan justru ikut mempertahankan penindasan
sosial, sebab pada dasarnya kelas sosial ini (baca: kelas agamawan)
sesungguhnya lebih banyak bertaklid dan takluk dibawa bayang-bayang
borjuasi dari ketimbang merepresentasikan kepentingan kelas proletar.
Upaya dalam membangun optimisme masyarakat justru menciptakan
pengkaburan persepsi akan kenyataan, seolah realitas dalam keadaan
baik-baik saja dengan menafikan kehidupan tercekik dan saling mencekik
sebagai kenyataan.
Analisa saya dalam masyarakat desa di
beberapa kampung di bumi ujung sumatera ini, Setidaknya ada 3 konflik
yang muncul yang pertama yang menjadi hakikat adalah konflik kelas,
tetapi dalam masyarakat disini keberadaan otoritas agama yang sangat
kuat maka konflik kelas yang tertekan kebawah oleh otoritas agama justru
meletup kesamping secara horizontal. Maka luapan konflik justru
bergeser secara horizontal berbenturan dengan primordial maka tipologi
horizontalnya muncul secara rasis yang menemukan titik pada isu pribumi
versus pendatang, sebuah konflik yang direkayasa, diorganisir dan diolah
oleh elit-elit politik lokal untuk mendaur kepentingan perebutan
kekuasaan yang hakikatnya adalah ladang-ladang ekonomi, dalam artian
ladang-ladang ekonomilah yang bertemu dengan ambisi kekuasaan yang
menjadi cikal bakal terbentuknya partai politik yang bekerja lewat
kekuasaan sebagai alat untuk mengendalikan dan menguasai faktor
produksi. Sebab diolah oleh elit politik, tidak heran ketika isu
separatisme secara politik pernah meledak dan masih menjadi gagasan
utopis kelas proletar ditingkat bawah, meski sebagian darinya yang
menyandang kepemilikan (baca: kelas borjuasi) hari ini telah
lenggang-lenggong dengan kursi kekuasaannya sekarang sebagai the roling party
(partai berkuasa), proletar tetap saja proletar meski berada dalam
naungan partai yang sama, sekali lagi proletar tetap saja proletar.
Proses pengkeduran nilai-nilai lokal
ternyata memiliki keuntungan tersendiri bagi para pemburu kekuasaan
untuk menciptakan fragmentasi masyarakat di tingkat bawah lewat
janji-janji politik yang tak terukur. Masyarakat telah digiring dalam
sebuah sistem sosial baru lewat kebijakan-kebijakan politik yang arahnya
adalah bagaimana membutakan masyarakat untuk memahami sejarah-sejarah
komunalisme lokal yang pernah hidup, sejarah yang diperdengarkan yang
merupakan domain produk kekuasaan hanyalah sejarah-sejarah yang mengupas
sisi personal ketokohan yang menggambarkan kepatuhan rakyat dihadapan
pemimpinnya, seolah pengkultusan yang berlebihan, upaya menggiring
masyarakat untuk menerima kenyataan untuk saling menghisap di tingkat
proletar sebagai sebuah kenyataan yang harus ditelan secara mentah.
Lewat otoritas agama mampu mengalihkan pandangan bukan hanya bagi
masyarakat awam tapi juga menyesatkan kaum yang berpendidikan untuk
memahami persoalan yang sesungguhnya lewat isu-isu yang tidak
substansial seperti hadirnya polisi celana ketat, yang hanya bertugas
untuk memeriksa tingkat ke-ketat-an celana rakyatnya, tapi lumpuh untuk
memeriksa besarnya kantong tuannya karena uang rakyat yang terselip.
Teringat dikala senja siang di sebuah
lobi tempat duduk disamping sawah dekat gubuk warga, duduk melepas
kesunyian sambil mendengar cekikan lansia di rumah Tuhan pertanda waktu
penyembah untuk menyembah, segelas kopi pahit meyambut, dalam gelas
tidak terdapat tanda merek kopi yang ada hanya label harga yang besar
bertulis tinta merah, mengingatkanku pada batu nisan. Sambil
membayangkan dan berangan-angan akan sebuah sistem sosial baru, yakni
sistem sosial tanpa harga, sistem sosial yang berpijak pada kesadaran
nilai lokal yang sejati.
Kita harus ‘’membunuh’’ (maaf bukan
fisik) masyarakat hari ini untuk menciptakan masyarakat yang baru.
Bukankah kelahiran, lahir karena kematian, keduanya adalah siklus hidup
untuk menggambarkan bagaimana seharusnya hukum-hukum sejarah
dikendalikan. Tarian shiva dalam ajaran hindu menggambarkan
kenyataan ‘’membunuh’’ oleh dewa sebagai musabab lahirnya kehidupan
sebagai sebuah tarian kosmik.
0 komentar:
Posting Komentar