Pages

Selasa, 18 Februari 2014

Ketika Gerakan Radikal Tidak Berdaya di Indonesia

Ketika di banyak negara muslim, gerakan islam radikal makin menguat bahkan berani melawan pemerintahan yang sah, baik di Pakistan, Afghanistan, Irak, dan lainnya. Di negara Eropa pertumbuhan umat Islam sangat cepat, tapi pertumbuhan Islam radikalnya pun cepat membuat citra Islam dibenua Eropa pun tercoreng, membuat pusing pemerintah disana.

Ketika perang sekte antara Sunni dan Syiah di Suriah dan umumnya Timur Tengah yang sebenarnya disebabkan politik perebutan pengaruh antara Wahabi paham yang dianut Arab Saudi dengan didukung oleh AS dan Israel dengan Syiah, paham yang di anut Iran yang dianggap ancaman terbesar. 
 
Ketika dunia terancam oleh pertumbuhan gerakan radikal yang banyak berideologi Wahabi, tapi di Indonesia, gerakan radikal tersebut mendapat perlawanan yang cukup keras. Orang-orang yang coba ingin mengganti dasar negara ini rupanya keteteran, tidak sadar bahwa yang mereka lawan adalah mayoritas di negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dengan wajah Islam kebangsaannya. 
 
Ketika mereka membawa-bawa konflik diluar baik Anti Ahmadiyah, Anti Syiah, Anti Kristen dan lain-lain tapi berkat kesadaran umat Islam yang memegang teguh bahwa Islam itu bukan arab dan tidak harus sama dengan arab, Islam Indonesia islam yang mempunyai ciri khas, dengan tradisi keislaman yang menjunjung tinggi budaya, sehingga gerakan radikal di negeri ini mampu di bendung.

Andai ormas NU dengan sikap Tawasuth, Tasamuh dan Tawazun berkembang di seluruh dunia, yakinlah Islam itu akan makin terlihat sebagai Islam Rahmatan lil Alamin. Mari dukung terus perdamaian, jauhkan keluarga kita dari ideologi radikal. (*/)

Sumber : Kongkow Bareng GUS DUR

Aswaja Sebagai Basis Ideologi dan Paradigma PMII

A. Akidah

Sebagaimana ditetapkan dalam khitah 1926, aswaja merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak bagi warga Nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak PMII sehingga berbeda dengan kelompok islam lain, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang. Cara pandang, tafsir sejarah, yang darinya diperoleh mandat sejarah diturunkan dari nilai-nilai tersebut. Perspektif tersebut juga bukan sekadar memberikan basis nilai, namun juga paradigma dan strategi perubahan sejarah. Semuanya itu kemudian direfleksikan dalam berfikir dan bersikap serta bertindak.
Cara berfikir menurut PMII sebagai refleksi ahlussunnah wal jama’ah adalah cara berfikir dialektis yang memadukan antara dalil naqli (doktrin) dengan dalil aqli (rasio) dan dalil waqi’i (empiria). Maka, disini PMII menolak rasionalisme murni sebagaimana yang dikembangkan kelompok free thinker/pemikir liberal dan positivisme ortodoks seperti yang dikembangkan materialistis. Demikian juga PMII menolak pemahaman zahir dan kelompok skeptualis karena tidak memungkinkan memahami agama dan realitas sosial secara mendalam.

Cara Bersikap: PMII memandang dunia sebagai realitas yang plural, karena itu pluralitas diterima sebagai kenyataan. Namun, juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan pluralitas tersebut agar kehidupan menjadi harmoni, saling mengenal (litaa’rofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat dan toleran menjadi spirit utama dalam mengelola pluralitas tersebut. Dengan demikian, PMII juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau pluralitas budaya tersebut.
Cara Bertindak: Dalam bertindak, aswaja mengakui adanya kehendak Allah (takdir). Tetapi aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, aswaja PMII tidak bersikap pasif fatalis dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai takdir Allah yang dalam teologi dikenal dengan istilah kasab (berjuang/berusaha). Namun demikian tidak bersifat antroposentris, bahwa manusia bebas berkehendak (seperti Qodariyah). Tindakan manusia tidak perlu dibatasi dengan ketat, karena dengan sendirinya akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian, tindakan ala PMII bukan tindakan yang sekular, melainkan sebuah dinamika iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.
B. Ideologi
Dari kaedah tersebut dijabarkan dalam konsep ideologi PMII. Karena aswaja berangkat dari nalar dialektis antara teks-konteks-rasionalitas, dan brangkat dari historisitas perjalanan bangsa ini, maka gerakan ideologi PMII bersifat:
1. Nasionalistik (Kebangsaan)
Mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai suku, adat, budaya, dan agama. Maka prinsip kebangsaan sangat tepat untuk mewadahi pluralitas yang terbentuk sejak zaman awal sejarah Nusantara. Selain itu, prinsip kebangsaan itu juga sangat penting untuk membentengi bangsa ini dari intervensi dan penjajahan bangsa lain, baik penjajahan secara politik, militer maupun kolonialisme imperialisme pengetahuan dan kebudayaan. Dengan adanya komitmen kebangsaan itu, kedaulatan rakyat, kedaulatan Negara, serta martabat bangsa bisa dipertahankan dan dijunjung tinggi.
2. Kerakyatan
Kebangsaan yang terbentuk secara budaya itu dengan sendirinya dibentuk secara bersama oleh keseluruhan warga bangsa (rakyat), maka nasionalisme berwatak antropologis, bukan politis an sich, karena itu seluruh gerak bangsa ini baik bersifat politik, ekonomi, kultural harus diorientasikan pada kepentingan rakyat, karena memang tumbuh dari rakyat. Maka nasionalisme borjuis sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa karena cenderung pragmatis dan berwatak kolaborator terhadap kekuatan kolonila. Sementara nasionalisme populis menolak segala bentuk kolaborasi dengan kekuatan imperialis sebab hanya akan merusak keutuhan dan meruntuhakan martabat bangsa.
3. Pluralis
Terbentuknya kekuatan nasional baik secara politik maupun kebudayaan sering berbenturan denga realitas lokal yang plural. Maka nasionalisme tidak boleh dibiarkan melebur cora-corak lokal, akan tetapi harus terus menjaga keanekaragaman budaya baik yang diekspresikan oleh etsi, agama atau tradisi lain. Disini kebangsaan harus aktif menjaga pluralitas dan bertindak tegas terhadap setiap pengancam pluralitas bangsa baik yang dibawa oleh globalisme maupun oleh agama-agama universal.
C. Prinsip
Setiap pergerakan disamping mempunyai akidah dan ideologi, harus juga menegakkan prinsip-prinsip agar gerakan tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan. Adapun prinsip geraka PMII adalah:
1. Ukhuwah
Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kolektifitas, karena itu perlu diikat denga ukhuwah atau solidaritas yang kuat (al urwatul wutsqo) sebagai perekat gerakan tersebut. Adapun ukhuwah gerakan PMII adalah meliputi:
a. Ukhuwah PMII-ah
Sebagai gerakan yang berbasis PMII tentu ukhuwah PMII-ah harus menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk fanatisme kelompok, sebaliknya, sebagai pengokoh ukhuwah yang lain sebab hanya kaum PMII yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang moderat penuh toleransi serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi adat, kepercayaan, dan agama yang ada.
Karena itu, kader PMII yang mengabaikan ukhuwah PMII dengan dalih mengutamakan ukhuwah yang lebih luas, yakni ukhuwah islamiyah, wathoniyah, atau bashariyah, apalagi hanya demi kepentingan politik personal atau geng, adalah sebuah penyimpangan. Bahkan dalam kader tertentu bisa disebut sebagai pengkhianatan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Ukhuwah PMII-ah berperan sebagai penggodokan dan pemotongan ukhuwah yang ukhuwah yang lain karena ukhuwah bukanlah reaksi spontan melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu dikuatkan.
b. Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah berspektrum lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi denga kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut, ukhuwah islamiyah sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk mendominasi yang lain, sehingga menjadi ukhuwah kusir kuda, yang satu menjadi tuan besar, yang lain diperlakukan sebagai kuda tunggangan.
Ukhuwah islamiyah semacam itu harus ditolak, harus mengembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil. Dan itupun dijalankan untuk kesejahteraan umat islam serta tidak diarahkan untuk mengganggu ketentraman agama atau pihak yang lain. PMII sebagai islam toleran berkewajiban mengawal agar ukhuwah islamiyah terus terjaga. Dengan demikian, ukhuwah yang lain juga bisa dikembangkan.
Dengan ukhuwah islamiyah yang jujur dan adil, umat islam seluruh indonesia dan dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi serta membela diri dari gangguan kelompok lain yang membahayakan eksistensi iman budaya dan masyarakat islam secara keseluruhan.
c. Ukhuwah Wathaniyah
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka PMII berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya, bangsa ini tidak hanya multi ras, multi agama dan multi budaya, tetapi juga multi ideologi.
Bagi PMII yang lahir dari akar budaya bangsa ini tidak pernah mengalami ketegangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab PMII adalah bentuk dari islam Indonesia (islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya Indonesia). Karena itu PMII berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathoniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathoniyah ini, eksistensi PMII, umat islam dan agama lain terjaga.dan bila seluruh elemen bangsa ini solid, maka akan disegani bangsa lain dan mampu menahan serangan dari bangsa lain yang gigih menjajah bangsa ini. Dalam kepentingan itulah PMII selalu gigih menegakkan ukhuwah wathoniyah sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Nusantara.
d. Ukhuwah Basyariyah
Walaupun PMII memegang teguh prinsip Ukhuwah Nahdliyyah, Islamiyah, dan Wathoniyah, tetapi PMII tidak berpandangan, berukhuwah sempit, melainkan tetap menjunjung solidaritas kemanusiaan universal, menolak eksploitasi dan penjajahan satu bangsa dengan bangsa lain karena hal itu mengingkari martabat kemanusiaan.
Menggugat kenyataan ini, maka penciptaan tata dunia yang adil tanpa penindasan dan penghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai sarana kolonialis merupakan tindakan moral yang harus dicegah agar tidak meruntuhkan martabat manusia.
Ukhuwah Basyariyah memandang menusia sebagai manusia, tidak tersekat oleh sekat agama, rasatau ideologi. Semuanya ada dalam satu persaudaraan universal. Persaudaraan ini bersifat pasif tetapi selalu aktif membuat inisiatif dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tata dunia baru yang jauh dari penjajahan, yang lebih relevan bagi kondisi manusia kontemporer.
2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba materialis, sikap amanah mendapat tantangan besar. Namun demikian perlu terus dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran baik pada diri sendiri maupun pihak lain.
Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah. Karena itu, pelakunya haeus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai roh gerakan harus terus dipertahankan, dibiasakan, dan ditradisikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
3. Ibadah (Pengabdian)
Berjuang dalam PMII untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian, baik mengabdi pada PMII, umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di PMII bukan untuk mencari penghasilan, pengaruh, dan jabatan. Tetapi memiliki tugas berat dan mulia.
Dengan semangat pengabdian itu mereka akan gigih dan ikhlas membangun dan memajukan PMII. Tanpa semangat pengabdian, PMII hanya akan dijadikannya tempat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memperoleh jabatan di pemerintahan. Selama ini PMII terbengkalai karena hilangnya rasa pengabdian bagi para pengurusnya sehingga tidak aktif di kantor, tidak terinisiatif menggerakkan kader organisasi, dan tidak melakukan terobosan pemikiran atau langkah terobosan yang konkrit seperti penataan organisasi serta memanage pola kerja.
Maka spirit pengabdian itu yang harus diamalkan dalam gerakan agar PMII berkembang lebih dinamis dengan banyaknya sukarelawan yang siap mengembangkan organisasi.
4. Asketik
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik (bersikap zuhud). Karena pada dasarnya, sikap materialistik (hubbud dunya) akan menggerogoti sekap amanah dan akan merapuhkan semangat pengabdian karena dipenuhi pamrih duniawi, maka sikap zuhud merupakan suatu keharusan bagi aktifis pergerakan PMII. Sikap ini bukan berarti anti duniawi, anti kemajuan, tetapi menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para salafus shalihin. Dengan sikap asketik itu, integrasi kader pergerakan PMII akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata bangsa ini.
5. Non-Kolaborasi
Prinsip kelima ini perlu ditegaskan kembali mengingat dewasa ini banyak lembaga yang disponsori kaum kapitalis-imperialis asing yang menawarkan berbagai jasa dan dana untuk tujuannya, bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan PMII, melalui intervensi, pemaksaan ide dan agenda mereka.
Karena itu, untuk menjaga kemandirian, maka gerakan PMII menolak untuk berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis-imperialis baik secara akademik, politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader PMII berkewajiban membangun paradigma keilmuan sendiri, sistem politik, dan sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa.
6. Komitmen pada Korp
Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerkkan roda pergerakan, maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp pergerakan. Karena itu, seluruh korp harus secara bulat menerima akidah ideologi dan seluruh prinsip pergerakan.
Demikian juga pimpinan tidak hanya cukup menerima ideologi, akidah serta prinsip pergerakan. Akan tetapi, harus menjadi pelopor teladan dan penggerak prinsip-prinsip tersebut. Segala kebijakan pimpinan haruslah merupakan representasi organisasi. Dengan demikian seluruh korp harus tunduk dan setia pada pimpinan.
Dalam menggerakkan prinsip dan melaksanakan program, pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada korp. Demikian juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.
7. Kritik-Otokritik
Untuk menjaga mekanisme pergerakan serta memperlancar jalannya program, maka perlu adanya mekanisme organisasi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kemandegan atau bahkan penyimpangan, maka dibutuhkan mekanisme kontrol dalam bentuk kritik otokritik organisasi. Kritik otokritik ini bukan dilansari semangat permusuhan, akan tetapi dilandasi oleh semangat persaudaraan dan rasa kasih sayang demi lancarnya roda pergerakan.
D. Strategi
1. Pribumisasi (agama, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya ) tata nilai
2. Konservasi (budaya-alam/culture-nature)
3. Nasionalisasi (sistem politik, sistem ekonomi, budaya) kelembagaan
E. Langkah
1. Penyadaran (posisi PMII, situasi Nasional, politik global).
2. Sosialisasi
3. Pembentukan jaringan (santri, siswa, mahasiswa, pemuda, ulama, birokrasi, profesional, pengusaha, tentara)
4. Kampanye
5. Gerakan (sosial, budaya, politik, ekonomi)
F. Tahapan
1. PMIi sebagai organisasi kader dan gerakan sosial mahasiswa (multirealitas-multikomunitas-multistrategi)
2. Pasca-PMII (ruang spasial pasca mahasiswa )- multi-strategi.

Jumat, 14 Februari 2014

TOR SEKOLAH ANSOS PMII CABANG

TOR SEKOLAH ANSOS PMII CABANG 

ASUMSI DASAR
1.        Mentalitas manusia yang berkodrat sebagai mahluk sosial yang kemudian memunculkan baberapa keinginan untuk melakukan proses refleksi sebagai media agar lebih jauh bisa memahami eksistensi individu manusia dan yang seringkali menjadi pertanyaan mendasar adalah apa yang akan dilakukan oleh Manusia sebagai mahluk sosial.
2.        Dengan melihat pada skala Karakteristik dasar kebangsaan. Yang hampir keseluruhan terbentuk melalui kultur dasar agraris yang telah mengalami pergeseran-pergeseran apakah itu dari hasil rekayasa sosial yang terstruktur atau bergeser melalui tekanan struktur sosial pasca imperialis. Hal ini yang kemudian tumbuh menjadi identitas dan alasan yang paten bagi setiap bentuk atau model gerakan baik yang dilakukan oleh struktur Negara ataupun oleh gerakan nonstruktural, yang semuanya berlable pembangunan dan peningkatan taraf kehidupan bangsa.
3.        Berangkat dari asumsi dasar yaitu memahami Nilai Dasar Pergerakan. Dengan memehami beberapa unsur gerakan Dimulai dari gerakan struktur administratif, gerakan intelektual, gerakan politik sampai pada unsurdasar gerakan sosial kemasyarakatan, tentunya yang menjadi modal utama adalah karakter gerakan yang kuat dalam melakukan keberpihakan, hal ini yang kemudian seringkali menjadi keluhan, yaitu tentang lemahnya bangunan garakan yang masih belum seimbang dengan syarat mental dan karakter keberpihakan.
4.        Lebih di kerucutkan lagi dengan melihat struktur bangunan dasar khususnya dari bangunan struktur pendidikan yang sudah seharusnya lebih di perkuat pada peningngkatan sisi kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan (sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, dll) dan pemahaman akan fungsi dan peran, ketika harus melakukan penyesuaian terhadap keberagaman dinamika sisoal, akan tetapi struktur pendidikan seringkali hanya menyajikan definisi-definifi teoritis tanpa melakukan fungsi produktifitas sosial yang berpihak.
Target
1.        Terciptanya sosok kader yang memiliki keprofesionalan dan mumpuni dalam hal aksi kerja-kerja gerakan khususnya dalam hal penganalisaan masalah & kerja-kerja lapangan yang mengarah pada proses perubahan.
2.        Terciptanya sosok kader yang mempunyai semangat dan militan terhadap konsistensi organisasi PMII sebagai organ gerakan yang selalu haus akan perubahan yang ditandai dengan adanya produk kerja-kerja gerakan sesuai yang terkandung dalam NDP PMII.
Tujuan
1.        Pembentukan karakter gerakan yang kuat.
2.        Peserta mampu menganalisa dan memahami orientasi kerja-kerja gerakan jangka panjang sebelum menjatuhkan Pilihan/keputusan terhadap satu pilihan agenda gerakan yang akan dilakukan.
3.        Peserta mampu menganalisa dan memahami orientasi dasar ketika dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut untuk segera diselesaikan, sebelum menjatuhkan keputusan terhadap  satu pilihan action/program.
4.        Peserta mampu mendiskripsikan kondisi antropologis, sosiologis komunitas serta masalah-masalah berdasarkan riwayat dan hubungan struktural didalam sitem dan mengidentifikasi faktor-faktor serta pihak-pihak yang turut andil dalam melanggengkan masalah.
SASARAN
Kader PMII Cabang kota Malang, dari masing-masing komisariat dan rayon-rayon secabang kota Malang dengan batasan minimal Semester yaitu semester 4 (empat) atau 5 (lima)
STRATEGI DAN METODOLOGI PELAKSANAAN                                                   
1.        shering bersama untuk penyatuan persepsi tentang pelaksanaan sekolah ansos
2.        diskusi dan tukar pengalaman
3.        belajar dari pengalaman mesing-masing individu dan memperbandingkan dengan kondisi lapangan (realitas sosial)
METODOLOGI
Beberapa tahap dari Metodologi dalam pelaksanaan yang akan mulai tahap awal sampai pada tahap Rencana Tindak Lanjut adalah:
1.        Bina Sasana
Peserta diajak untuk memahami tujuan dari kehadiran dan kesadaran atas kehadiran pada agenda tersebut
2.        Prakondisi
Merefleksikan kebutuhan dasar pelaksanaan sekolah ansos
Perumusan kebutuhan
3.        Pelaksanaan

ALUR  PRA PELAKSANAAN
SEKOLAH ANALISA SOSIAL

No

Agenda
Materi
Sub Materi
Tujuan
01

BINA SUASANA

Memahami forum
Ä Siapa yang Berkumpul?
Ä Apa yang menyebabkan berkumpul?
Ä Mengapa berkumpul?
Ä Untuk apa berkumpul?
Peserta memahami tujuan dari pertemuan yang akan diagendakan bersama
02
PRA KONDISI
Merefleksikan kebutuhan dasar pelaksanaan sekolah ansos
Ä Memahami kondisi realitas dan dinamika sosial internal dan ekternal dari pengalaman masing-masing peserta
Menemukan kebutuhan akan pelaksanaan sekolah ansos
Perumusan kebutuhan
Ä Menemukan target, tujuan pelaksanaan sekolah ansos
Ä Menentukan, merumuskan dan mensistimatikakan materi sekolah ansos
Ä Menentukan skala pertemuan (tatap muka)
Ä Menemukan metodologi peleksanaan sekolah ansos
Terbangunnya kebutuhan atas kesamaan persepsi terhadap pelaksanaan sekolah ansos
Munculnya tanggung jawab bersama untuk pelaksanaan sekolah ansos
03
PELAKSANAAN
Analisa diri
Ä Melaksanakan belajar bersama dari beberapa materi yang telah disepakati pada proses perumusan kebutuhan
Rencana tindak lanjut
Ä Meng evaluasi dan merefleksikan hasi-hasil pertemuan (tatap muka)

Analisis sosial

Analisis sosial
Analisis sosial atau yang lebih akrab dikenal ansos ini merupakan sebuah proses atau mekanisme yang akan membahas problematika-probelmatika yang terjadi pada sebuah objek analisa dan pada akhirnya akan menghasilkan apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan atas problematika-problematika tersebut. Dari sana, kita dapat menentukan apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk dicarikan solusi yang tepat.
Inilah yang acapkali tidak dilalui oleh para problem solver. Mereka seringkali menghasilkan solusi atas problematika yang hadir bukan berdasarkan hasil analisis mendalam namun hanya berdasarkan dugaan yang argumentasinya lemah atau bahkan hanya berdasarkan pada kemauannya saja. Mungkin permasalahan yang nyata di lapangan akan terselesaikan, namun karena ia tak akan menyentuh sampai ke akarnya maka akan hadir permasalahan-permasalahan baru atau bahkan permasalahan yang nyata tersebut tidak hilang sama sekali.
PENGERTIAN ANSOS
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, struktural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial
RUANG LINGKUP ANSOS
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan perubahan. Secara umum objek sosial yang dapat dianalisis antara lain;
-          Masalah-masalah sosial, seperti : kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas.
-          Sistem sosial, seperti : tradisi, usaha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem pertanian.
-          Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan. Kebijakan publik seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
PENTINGNYA TEORI SOSIAL
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah dianalisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris.  Charles lemert (1993) dalam Sosial Theory ; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial.  Pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan aktor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang diproduksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
LANGKAH-LANGKAH ANSOS
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain :
Memilih dan menentukan objek analisis :
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalisis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pengumpulan data atau informasi penunjang :
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung di lapangan. Recek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi dan analisis masalah :
Merupakan tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
Mengembangkan presepsi :
Setelah diidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif.  Pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut.
Menarik kesimpulan :
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang ; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
PERANAN ANSOS DALAM STRATEGI GERAKAN PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).

Kamis, 13 Februari 2014

Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:

Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa:

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.

Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan:

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan:

(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan:

(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan:

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu:

1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan,

2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan

3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.