Pages

Senin, 09 Desember 2013

Sabtu, 07 Desember 2013

Tarif Resmi Pembuatan SIM, STNK dan Pelat Nomor

Tarif Resmi Pembuatan SIM, STNK dan Pelat Nomor

Tarif ini berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia

Berikut tarif resminya

I PENERBITAN SIM

A. Penerbitan SIM A
1. Baru Per Penerbitan Rp 120.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 80.000

B. Penerbitan SIM B
1. Baru Per Penerbitan Rp 120.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 80.000

C. Penerbitan SIM B II
1. Baru Per Penerbitan Rp 120.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 80.000

D. Penerbitan SIM C
1. Baru Per Penerbitan Rp 100.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 75.000

E. Penerbitan SIM D (khusus penyandang cacat)
1. Baru Per Penerbitan Rp 50.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 30.000

F. Pembuatan SIM Internasional
1. Baru Per Penerbitan Rp 250.000
2. Perpanjangan Per Penerbitan Rp 225.000

II Pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator

Per Ujian Rp 50.000

III Penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK)
A. Kendaraan bermotor roda 2, roda 3, atau angkutan umum Per Penerbitan Rp 50.000
B. Kendaraan bermotor roda 4 atau lebih Per Penerbitan Rp 75.000
C. Pengesahan Surat Tana Nomor Kendaraan (STNK) per pengesahan/Tahun Rp 0

IV Penerbitan Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK)

Per penerbitan/kendaraan Rp 25.000

V Penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB)

A. Kendaraan bermotor roda 2 atau roda 3 per Pasang Rp 30.000
B. Kendaraan bermotor roda 4 atau lebih Per Pasang Rp 50.000

VI. Penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB)
A. Kendaraan bermotor roda 2 atau roda 3
1. Baru Per Penerbitan Rp 80.000
2. Ganti Kepemilikan Per Penerbitan Rp 80.000

B. Kendaraan Bermotor roda 4 atau lebih
1. Baru Per Penerbitan Rp 100.000
2. Ganti Kepemilikan Per Penerbitan Rp 100.000

VII Penerbitan Surat Mutasi Kendaraan ke luar daerah

Per Penerbitan Rp 75.000

Jumat, 15 November 2013

KETUA KOMISARIAT PK PMII UNIVERSITAS ISLAM DARUL'ULUM LAMONGAN DARI MASA KE MASA


NO
NAMA
PERIODE
CP
1
Abu  kholis
I
081231357423
2
Sahabat mudhor
II
081357776264
3
Sahabat mudhor
III
081357776264
4
Sahabat Alex.R
IV
081541111058
5
Sahabat Aris
V
085730325363
6
Sahabat Anam
VI
081515961710
7
Sahabat wanto
VII
085648381146
8
Sahabat benu
VIII
085646220040
9
Sahabat Riyan
IX
085768967890
10
Sahabat zanu.m
X
08563220897
11
Sahabat agus haris
XI
08573325215
12
Sahabat zainut
XII
085730867871

Jangan lupakan sejarah..!!!!!!!

Jumat, 06 September 2013

PARADIGMA ARUS BALIK VI (PMII UNISDA LAMONGAN)



I.       REKAYASA SOSIAL
Rekayasa sosial dimaksudkan sebagai metode dan arah pergerakan dalam upaya-upaya pencapaian tujuan. Rekayasa sosial menggunaka pendekatan, metode dan wahana yang kondusif, yang ditujukan untuk membebaskan manusia dari penjajahan dalam segala bentuknyayang berujud pada penghapusan sistem sosial-kemasyarakatan yang pincang sebagai akibat dari kegagalan manusia menggagas dan menciptakan kebudayaan. Dalam hal ini, termasuk bentuknya adalah sentraliasi pembangunan ekonomi dan usaha ekonomi finansial transnasional.
Rekayasa sosial mempunyai wilayah, yang satu sama lainnya berbeda. Pada wilayah kebangsaan, rekayasa sosial diarahkan pada perebutan kembali kedaultan rakyat yang telah hilang digantikan oleh kedaultan negara. Perebutan ini disamping sebagai amanat sejarah, juga untuk memperkuat demokratisasi politik, ekonomi dan sosial. Pada wilayah budaya, rekayasa sosial diarahka untuk memperkuat kebudayaan rakyat yang kering dan hampir mati oleh arus modrnisasi. Penghidupan ini dilakukan dengan memberikan peluang berkembangnya budaya rakyat secara otonom, tanpa intervensi oleh kekuasaan negara. Ang lebih penting lagi adalah penghidupan budaya tersebut diambilkan sarinya sehingga menghantarkan kebudayaan dijadikan sebagai penyadaran atas nilai-nilai kemanusiaan, perjuangan penegakan atas nilai-nilai keadilan dan perlawanan atas penyelewengan amanat kekuasaan.
Rekayasa sosial akan menghasilkan pendobrakan dan penataan kembali terhadap sistem intelektualitas, “pola hubungan-bargaining” pada tingkat negara, dan sistem religiusitas. Bagaimana sistem kepercayaan dan keberagamaan tersebut dapamenjadi nilai yang transformatif dan membebaskan, baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pengkayaan dan pencarian ulang terhadap sistem teologi Aswaja yang dianut selama ini tidak mengenal kata selesai.
Penataan sistem intelektualitas diterjemahkan sebagai penguatan kapasitas konseptual dan profesionalitas sehingga outputnya akan menghasilkan industri pengetahuan (industry of knowladge). Sistem intelektualitas tetap merupakan sitem pengetahuan yang memihak, yaitu pada yang tertindas dan lemah. Namun demikian, sistem ini harus dapat berupa gerakan yang besar sehingga menemukan lahan industrinya. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan profesionalitas akademik dan pengawinan pengetauan dengan pilar-pilar kemasyarakatanb seperti pers, LSM, agamawan, termasuk kekuasaan. Sehingga membentuk sebuah kekuatan transformasi, yang sinergis.
Oleh karena itu, rekayasa sosial diarahkan menjadi dua pola, yaitu Free Market Of Ideas (FMI) dan Advokasi. Free Market of Ideas (FMI) didasari oleh adanya individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi, baik dalam pengkaderan maupun dalam pertemanan transformatif lainnya. Free Market of Ideas (pasar bebas ide) sebagai upaya pencarian out put gerakan PMII, baik pada tataran internal PMII, wilayah negara maupun pada masyarakat bawah.
Asumsi dasar dari FMI ini adalah bahwa visi gerakan PMII yang selam ini – liberasi, independensi, interdependensi – menuntut adanya hasil (out put) yang lebih dapat dirasakan baik oleh warga maupun masyarakat luas. Sebab, tuntutan “produk” gerakan PMII selama ini, outputnya kurang dicerna oleh masyarakat luas dan belum mampu menyeruak dalam ruang publik, sehingga kurang didengar dan diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan lainnya.
Semua ini terjadi karena PMII belum mempunyai sistem pasar bebas ide (FMI yang mampu menghasilkan industri pengetahuan dengan didasari oleh keunggulan konseptual dan profesionalitas. Dari sini PMII akan melakukan “jual-beli” wacana dan ide secara sistemik, baik dalam konsep keagamaan, sosial, ekonomi, politik, kebangsaan, rekayasa sosial dan yang lainnya agar dapat menjadi bayangan dan tawaran alternatif.
Free Market of Ideas pada tingkat internal warga, merupakan ruh paguyuban, yang di dalamnya terjadi proses “bazar ide”. Bazar ide memberikan kebebasan memberi dan menerima segenap penjelajahan (eksplorasi) pemikiran. Dalam konteks ini penumbuhan komunitas yang hidup dalam kegairahan imajinasi (imagine society). Komunitas penuh ide dan kreatifitas bisa muncul bila selalu diperhadapkan dan dihadapkan dengan realitas masyarakat, terutama dalam konteks kebobrokan sistem kehidupan manusia. Di sinilah PMII harus sealu menjaga jarak dengan segenap bentuk kemapanan.
Penguatan ke dalam sebagai basis transformasi dan rekayasa sosial dilakukan pada tiga wilayah, penguatan ideologi sosial sebagai kekuatan politik (intelektualitas), penguatan kualitas pendidikan kader baik formal maupun informal sebagai kekuatan profesionalitas, dan penguatan basis ekonomi melalui penemuan kreatif sumber-sumber pembiayaan dan kemandirian.
Perwujudan FMI pada wilayah eksternal menntut adanya output (produk) PMII dari berbagai temuannya. Output FMI pada tingkat negara bangsa dilakukan dengan enggunakan tiga pengemasan. Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual ini dapat berupa kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka merumuskan pemikiran-pemikiran publik, sebagai bagian dari upaya memasarkan ide ke masyarakat. Tawaran konseptual dilakukan sebagai upaya membangun ideologi-kultural.
Kedua, pendelegasian. Dengan meletakkan kekuasaan sebagai partner, maka kekuasaan bukanlah kemewahan, sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi kualitatif dapat dilakukan, melalui kemenangan ide PMII.  Berkuasa tanpa masuk ke dalam struktur kekuasaan, itu perlu dilakukan dalam memperkuat jaringan kerja sama. Dengan kekuatan lobby sebagai wahana mengawingkan kekuatan intelektual-liberatif dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada, terutama tawar-menawar kerja sama dengan kekuasaan bisa dijalankan. Ketiga, gerakan kritisisme. Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa konsep, namun gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternatif dari segenap kepengapan dan stagnasi pada wilayah teoritik maupun praksis.
Rekayasa sosial advokasi dilakukan untuk segala korban dari perubahan, dengan kemampuan diri. Pada gerakan advoasi ini mengambil sarana dan obyek sesuai dengan sistem lokalitas masyarakat yang ada. Advokasi dilakkukan dengan mengambil tiga bentuk gerakan, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Ketiga gerakan ini ditujukan sebagai pendidikan politik masyarakat akan hak-haknya sehingga angan-angan civil society tercapai.
Advokasi dilakuka dalam rangka transformasi nilai yang diyakini kebenarannya melalui pertanggungjawabkan ilmu yang diembannya. Advokasi mengambil tiga sasaran utama, yaitu ideologisasi sosial kegamaan, ekonomi dn pendidikan. Untuk mewujudkan gerakan advokasi ini diperlukan kerja-kerja rintisan yang dapat mempercepat proses transformasi tersebut[.]
June 2th, 2007
Rewrite by NA

PARADIGMA ARUS BALIK V



I.       ETIKA SOSIAL
Dengan pemahaman arti pentingnya perubahan sosial yang termaktub dalam perjuangan 1) transformasi dari orientasi massa ke individu, 2) transformasi dari struktur ke kultur, 3) transformasi dari elitisme ke populisme, dan 4) transformasi dari negara ke rakyat, diharapkan menjadi pengarah bagi ekspresi juang, melalui cara pandang, model transformasi dan etika sosial. Bagi PMII, keberpihakan – yang tulus, tanpa tendensi dan pertimbangan teknis politis – pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat bawah. Dalam konteks politik, maka transformasi tersebut ditujukan bagi seluruh warga negara dimana umat Islam menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan. Pendekatan ini berupaya untuk mengambil jarak dari negara kendatipun tidak berarti menolak keberadaan atau legitimasinya. Yang diinginkan adalah bagaimana kekuatan negara yang sangat besar itu bisa secara gradual diimbangi oleh kekuatan masarakat yang semakin mandiri dan mampu melakukan pengaturan terhadap kepentingannya. Dengan ini diharapkan terdapat keseimbangan kontrol yang justru akan memperkokoh sistem yang hendak dibangun secara bersama.
Kepentingan politik Islam, tidak bisa dilihat secara terpisah dari kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga tidaklah tepat melakukan pendekatan parsial seperti Islamisasi modernitas dan proses modernisasi di Indonesia, sebab akan memicu sektarianisme di dalam umat Islam dan secara real-politis menghambat proses integrasi umat Islam dalam kebangsaan Indonesia, dan bahkan Islamisasi politik dapat menjurus pada situasi darurat yang memberi legitimasi bagi dipertahankannya status-quo. Islam merupakan salah satu faktor-diantara (komplementer)  masyarakat plural seperti Indonesia. Islam memiliki keterbukaan dan saling belajar dengan sumber-sumber peradaban lainnya. Dengan demikian umat Islam seyogyanya tidak memandang dirinya sebagai faktor kompetitif yang hanya akan berfungsi disintegratif bagi kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Umat Islam harus menerima Republik yang ada sebagai bentuk negara final. PMII menolak ide dan proyek Islamisasi masyarakat dan politik, sehingga agendanya adalah bagaimana menciptakan masyarakat Indonesia – dimana umat Islam kuat –, dalam pengertian berfungsi dengan sebaik-baiknya. Perjuangan umat, justru mencari platfom yang sama dan titik-titik temu (kalimatun sawa’) dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, untuk memperjuangkan tatanan politik yang modern, demokratis, dan adil. Islam sebagai ajaran seharusnya membrei sumbangan berupa etika sosial bagi masyarakat Indonesia modern. Sebuah masyarakat yang kuat, mandiri dan mampu menjadi landasan sebuah sistem politik demokratis.
Agenda perjuangan Islam adalah upaya-upaya untuk mengembalikan harkat warga negara sebagai pemiliki kedaulatan dan demokrasi sebagai sistem politik yang mampu menjamin partisipasi mereka secara terbuka, setiap kecenderungan partikularisme dihindari namun menolak totalisme dan uniformisme. Selanjutnya, demokrasi menghargai kebebasan berekspresi tetapi pada saat yang sama menuntut tanggung jawab etik; menolak intervensi negara, tetapi tetap memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konflik internal maupun eksternal. Islam harus menyumbangkan pemikirannya sebagai agama yang publik, dan terlibat penuh dalam wacana dan kiprah publik dalam civil society dan bukan pada level negara. Islam kemudian bisa terlibat dalam pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan kekuatan lain tanpa klaim eksklusif. Dengan cara ini pula Islam lantas bisa melakukan kritik terhadap paradigma poltik liberal yang dominan, bersama paradigma-paradigma alternatif lain seperti feminisme, environmentalisme, republikanisme dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan bangsa, PMII memiliki prospek untuk dapat berperan secara tepat dalam jaringang yang strategis sebagai pelopor pembaharuan. Sebab, dalam masa depan yang kompleks interaksi manusia dan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh pertimbangan kemanusiaan. Dan arus informasi yang kuat dan global membutuhkan fungsionaris-fungsionaris organisasi yang bukan sekedar berperan sebagai manager, melainka pemimpin dengan keyakinan agama yang teguh yang berfungsi sebagai agen kemajuan dan kesejahteraan di tengah proses-proses ketergantungan dan perubahan dalam masyarakatnya.
Beberapa etika sosial yang perlu untuk terus dikembangkan adalah sebagai berikut:
1)      Bahwa spriritualisme agama dan nilai-nilai kultur, selain hidup dan tumbuh dalam semangat, mentalitas dan kedalaman transendensi, juga haru terekspresikan dalam segenap dinamika gerak dan perilaku, baik secara individu, maupun secara kelembagaan (community).
2)      Bahwa kemanusiaan merupakan harkat yang selalu dikedepankan dan menjadi pertimbangan utama dalam melihat dan merespon realitas, sehingga Hak Asasi Manusia, humanisme, demokrasi  dan keadilan adalah agenda dan tema perjuanga PMII.
3)      Bahwa kederajatan dan kesamaan antar manusia, melahirkan etos populisme, egalitarianisme yang teraktualisasi dalam semangat pluralitas, anti terhaap “penyeragaman” (uniformitas). Semangat pluralitas ini bisa berwujud dalam perilaku toleran, tasammu, tawazun, I’tidal.
4)      Etos populisme dan egalitarianisme melahirkan semangat untuk hidupu terbuka dan jujur (inklusif) dalm rangka keterbukaan untuk mau berdialog dn belajar bersama dengan sumber peradaban lainnya. Etos inklusivisme ini berimplikasi kepada kemauan untk selalu mengkritisi kultus, dogmatisme dan formalisme.
5)      Bahwa sejarah merupakan proses yang hidup dan bergerak, sehingga kesadaran sejarah adalah etos perbubahan untuk ingin terus-menerus bergerak menuju perbaikan keadaan. Etos perubahan menolak adanya stagnasi dan hegemoni makna atas jalannya sejarah.
6)      Bahwa negara dibentuk untuk menjaga pola hubungan antar sesama warga, berdasarkan kesepakatan. Sehingga negara bukanlah segal-galanya yang berhak memasuki segenap kehidupan bersama. Hegemoni negara yang tumbuh menuntut adanya counter hegemony, sehingga hakekat kedaulatan rakyat terwujud dalam posisi rakyat di atas kedaulatan negara, elit atapun pemerintah. Dalam hal ini civil society merupakan etos dan target perjuangan.
7)      Berbagai kondisi yang berlawanan dengan idealitas yang dibangun selama ini telah menjadi kesadaran seluruh masyarakat dan rakyat bangsa Indonesia, da cita-cita itu tak terlihat dalam realitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu etos reformasi harus selalu ada dalam segenap dinamia juang PMII. Reformasi perilaku dan sistemik menjadi bagian dari kesadaran tantangan masa depan untuk terus bergerak lebih jauh. Dalam hal ini dapat dimulai dari menghilangkan segala bentuk sentralisasi dan koorporatisme negara. Pemberdayaan ormas dan orpo harus dapat diwujudkan dalam kemandirian dan kebebasan, hal ini diperjuangkan dalam rangka kesadaran mewujudkan bangsa dan masyarakat yang cerdas, mandiri, adil dan makmur.