Pages

Jumat, 04 Juli 2014

PMII perspektif Ideologi



Murdianto*
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles
Catatan awal
Sangat banyak orang menggunakan kata “ideology”. Tapi seringkali kata selalu digunakan untuk menyertai tuduhan kepada fihak lain yang sangat meyakini kepercayaan tertentu. “kamu pengikut ideologi komunis”. Dalam ilmu-ilmu sosial, ideologi dapat bermakna positif dan sekaligus negatif. Istilah ini pertama kali di gunakan de Tracy pada akhir abad ke XVIII, memunculkan kata ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”
Cakupan ideologi menurut de Tracy adalah nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.
Namun dalam perkembangannya istilah ideologi di‘sempitkan’ maknanya oleh Marx, Freud. Ideologi lebih dipahami sebagai, sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘me-rasionalisasi-kan, mem-beri-kan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Namun ideologi juga sering di pandang miring alias negatif oleh banyak ilmuwan seperti yang di ungkap Arief Budiman. Ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dan ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan Marx adalah pelopor pandangan ini.
Pengertian serupa dapat di lihat dalam World Book Encyclopedia, yang mendefiniskan:
“Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang ada. …Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikasi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology).
Dan tentu untuk insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.
Ideologi dalam konteks gerakan
Ideologi dalam konteks sebuah gerakan sosial atau organisasi, atau sebagai pengatur aktivitas gerakan, memiliki beberapa aspek kunci yakni landasan filosofis dan analisis sosial, tahap-tahapan perjuangan/gerakan dan masyarakat ideal (yang dituju) dimasa depan. Artinya ideologi, selalu memiliki unsur teleologis (berpijak pada tujuan-tujuan). Setelah meneliti dari berbagai sumber dan membaca kecenderungan sebuah gerakan sosial (semacam komunisme), penulis mengidentifikasi elemen kunci dari ideologi gerakan adalah:
1. Landasan filosofis (ontologis, epistemologis maupun metode berfikir) baik tentang bagaimana realitas, manusia, masyarakat maupun sejarah di definisikan. Marx memberi contoh :
- seperti materialisme dan dialektika dalam ontologis sejarah masyarakat manusia sekaligus metode berfikir, yang menghasilkan prinsip historical materialism.
- Atau struktur sosial akan menetukan kesadaran manusia, bukan kesadaran manusua yang menentukan struktur sosial (manusia hanya obyek sejarah)
- Dan seterusnya, contoh: Ansos-nya Marx mendefiniskan ada klasifikasi kelas sosial, seperti Kapitalis, Bourguese (borjuis), dan proletar. Klasifikasi ini di lengkapi dengan teori ekonomi surplus value, untuk menjelaskan bagaimana munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
2. Tahapan perjuangan/kerja gerakan
Tahapan-tahapan yang harus/dan memang pasti dilalui untuk menuju terwujudnya kepentingan (cita-cita ideal) sebuah organisasi.
Sebagai contoh Marx dalam “Manfesto der Komuniscten Partij” tahapan yang harus dilalui adalah class struggle (pertarungan kelas).
- Yakni antara kelas feodal dan kelas kapitalis (tahap I) yang menghasilkan revolusi kapitalis
- Kemudian berlanjut tahap II yakni revolusi berjuis, berupa kemenangan kelas borjuis atas kelas kapitalis
- Yang tahap terakhir adalah revolusi komunis, yang merupakan puncak kemenangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Revolusi inilah yang menghasilkan masyarakat ideal ala marx (masyarakat komunis)
3. Masyarakat ideal. Masyarakat masa depan yang di cita-citakan: seperti daulah islamiyah, civil society, masyarakat komunis, masyarakat kapitalis dan seterusnya. Masyarakat yang hanya akan ada di masa depan
Marx misalnya berangkat dari cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan abadi di bumi, mencita-citakan masyarakat sama-rasa, sama-rata (masyarakat komunis)
Kita lihat gambaran di atas, sebuah ideologi dapat memenuhi fungsi mengarahkan aktifitas gerakan bila mampu memberikan kesan universal, obyektif dan natural. Maka ideologi selalu melakukan universalisasi, obyektifikasi sekaligus naturalisasi gagasan-gagasan yang sedang di usungnya.
Universalisasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya bisa berlaku di semua belahan dunia asal itu dunia manusia. Masyarakat komunis misalnya di ramalkan Marx akan bisa terjadi di semua tempat, dan oleh karena itu tahapan – tahapan revolusi-pun akan terjadi di semua tempat. Tanpa memandang suku, bangsa agama dan sejenisnya.
Obyektifikasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya di dukung oleh metode ilmiah dan empirik. Bagaimana Marx menunjukkan bagaimana cara dia menjawab pertanyaan: mengapa terjadi pengkelasan sosial. Jawabannya: adanya surplus value, yang dianut oleh pemegang modal yang diteliti dari konteks Eropa barat pada abad XIX. Bila kita amati proses ini melampaui hukum-hukum metode ilmiah yang sangat ketat, yang akhirnya sampai kesimpulan.
Naturalisasi, ideologi selalu berusaha menunjukkan gagasannya selalu alamiah (natural), yang merupakan potret kejadian yang sangat alamiah. Perputaran kenyataan kehidupan baik kemasyarakatan atau yang lainnya di definisikan oleh sebuah ideologi sebagai kenyataan yang ‘apa adanya’ dan tidak di buat-buat.
Isi dan perwatakan ideologi ini, berlaku pada semua ideologi dunia seperti kapitalisme, komunisme, nasionalisme, islamisme, dan sederet ideologi besar dunia lainnya. Kesemuannya (pada titi tertentu) mampu mensistematisir gagasannya untuk menjawab persoalan kehidupan dan kemsyarakatan manusia. Fenomena sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya akan di teropong dengan pandangan mendasar sebuah ideologi bagi para penganutnya. Untuk itu buatlah berbagai contoh jawaban dari ideologi dunia sebagaimana pengetahuan yang anda miliki, untuk mempertajam analisis kita. Walaupun dalam praktiknya kita akan menemukan kontradiksi antar elemen gagasan dalam sebuah ideologi.
Misalnya: kontradiksi antara hukum dialektika materialisme atau dialektika historisme yang mengandaikan pertarungan (proses dialektis) yang tak pernah henti dan tak pernah berakhir dalam sebuah masyarakat. Adanya akhir sejarah dalam pikiran idelogi komunis, dengan terbentuknya masyarakat komunis, bertentangan dengan dalam hukum dialektika materialisme yang tidak kenal “akhir sejarah”, sejarah adalah “pertarungan yang tiada henti”. Sebuah dialektika yang tak pernah punya akhir. Ini sebagian kecil contoh.
Dan oleh sebab itu, semakin kecil kontradiksi dalam sebuah ideologi, ia memiliki kekuatan menghadapi kritik dan serangan lawan ideologi. Semakin besar kontradiksi intenal antar konsep-konsep dalam sebuah ideologi, akan semakin lemah menghadapi serangan lawan ideologinya. Bagaimana dengan ideologi PMII bila di teropong dengan perspektif semacam ini.
Kritis, Transendensi dan Transformasi: Ideologi PMII?
Memperhatikan beberapa nilai yang sering di ritualisasi PMII dalam perjalanan sejarahnya, (saya) mencoba mencari rangkaian yang ‘mungkin’ dari ideology kita sebagai organisasi gerakan yakni:
1. Landasan etis
Disinilah posisi NDP dan Aswaja harus di letakkan. Seperangkat nilai ini membangun roh, semangat, dan keberfihakan kita. NDP jelas memberi landasan bagaimana transendensi atas nilai-nilai ilahiyah harus terwujud dimuka bumi dalam kehidupan sosial.
2. Landasan filosofis
Kritisisme, sebagai alat tafsir realitas menemukan tempatnya di sini. Namun sikap kritis ini harus di derivasi secara lebih detail dengan menggunakan pisau analisis yang lebih tajam dengan teori sosial yang sesuai dengan keberfihakan PMII terhadap basis sosial dan kulturalnya (kaum mustadha’fin dan islam tradisionalis).
3. Tahapan perjuangan/kerja gerakan
Agensi subyek dan Trasendensi. Istilah “rekayasa sosial menghasilkan kader PMII yang bercitra ulul albab menemukan posisi di wilayah kerja perjuangan. Sebagai organisasi kader, sudah seharusnyalah kader (agen) memiliki posisi sentral. Kerja dan perjuangan gerakan sepenuhnya di abdikan terhadap proses kaderisasi, yang dapat dipastikan memiliki implikasi sosial, lewat proses diaspora kader dalam ruang-ruang masyarakat sipil.
4. Masyarakat ideal.
Civil Society, dalam arti masyarakat yang demokratis dalam politik, memiliki keadilan dalam ekonomi, dan kesetaraan sosial.
Namun, skema diatas masih terlalu dini untuk menjadi ideology yang tangguh. Karena berbagai kontradiksi internal antar konsepsi dalam ‘ideologi’ yang kita punya. Beberapa pertanyaan di bawah ini sebaiknya kita jadikan renungan, bahkan agenda kita ke depan.
Pertanyaan bagi PMII?
Dengan deskripsi diatas, (saya) belum mampu menemukan apa ideologi (dalam pengertian yang fix) yang di anut PMII. Dan (menurut saya) banyak hal yang menyebabkan PMII belum bisa di katakan memiliki sebuah ideologi. Mungkin juga, para pendirinya memang tidak menginginkan PMII terjebak dalam sebuah ‘ideologi beragam ideologi’ atau ‘ideologi ambil sana sini’. Atau juga kemungkinan lain, misalnya PMII memang selalu bingung dengan beragam ideologi yang tersedia dan tidak punya kekuatan atau keinginan untuk memilih. Semuanya serba mungkin.
Untuk yang terakhir, saya memiliki beberapa pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya. Dan mungkin akan menjadi agenda PMII dan kadernya, di masa yang akan datang :
Pertama, “Apakah jenis kelamin ideologi yang dianut PMII, diantara peta ideologi besar dunia dimana? Apakah karena PMII menganut Paradigma Kritis-Transformatif, kemudian sekaligus menganut ‘ideologi kritik ideologi¬’-nya Jurgen Habermas dan transformasi basis struktur ala marxian. Atau kalau Aswaja di anggap Ideologi, sudahkan pengertian Aswaja ‘ala PMII mampu memenuhi syarat (sah) sebagai ideologi gerakan?
Kedua, atau selama ini memang PMII memang ‘ditakdirkan’ sebagai organisasi yang berideologi ganda, karena sukanya ambil sana sini? Karena PMII bangga dengan istilah al muhafadhatu ‘ala qadimi sholih wal ahdul bil jadidil ashlah” dan oleh sebab itu ‘berasyik-masyuk’ dalam terhadap istilah liberasi, demokrasi, keadilan, kemanusiaan dan seterusnya? Bukankah istilah itu berasal dari beragam ideologi, sama statusnya dengan ideologi tunggal Pancasila yang memang rangkuman berbagai ideologi ? Ketiga, Atau memang PMII itu unik, dan bekerja diluar kepentingan ideologi itu? Dan untuk itu tidak peduli dengan soal ideologi?
Tapi yang pasti tanpa ideologi, sebuah organisasi pasti akan mengalami kontradiksi internal yang terus menerus. Apakah ini positif atau negatif bagi perkembangan PMII, itu sejarah yang akan menjawab. Yang terakhir adalah dua pilihan yang harus diambil oleh PMII, yakni: untuk membuka kembali perdebatan tentang ideologi dalam PMII. atau mingkin kita tutup sampai di sini perdebatan tentang ideologi PMII, dan organisasi yang ada sekarang kita anggap final. Ataukah membiarkan ideologi PMII selalu dalam tanda kutip (“…..”), artinya biarkanlah ada dua beragam penafsiran dan perdebatan tentang ideologi PMII. Menurut Jaques Derrida kemungkinan terakhirlah yang paling mungkin dilakukan. Tetapi sejak awal PMII keberfihakan
*) Murdianto, Koord Biro Kaderisasi Nasional PB PMII 2005-2007. Direktur Pelaksana pada Institute for Religion and Cultural Studies (IRCāS) Ponorogo dan kepala peneliti pada LP2M INSURI Ponorogo.