Pages

Senin, 30 Juni 2014

Paradigma Menggiring Arus


Pengantar
Bulan April dimuka nanti, PMII genap berusia setengah abad. Sebagai organisasi, momentum ‘setengah abad’ itu idealnya tak menjadi perayaan ceremonial belaka. Momentum itu sebaiknya dikontekskan kedalam refleksi sejarah pergerakan kita yang begitu panjang dan berliku. Tahun 1960 adalah penanda deklaratif saja dari kelahiran PMII sebagai organisasi kepemudaan yang mewakili spirit zamannya (zeits geist). Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), maka refleksi pergerakan yang dimaksud adalah juga ‘mikro-history dalam makro-history NU’, dan itu berarti bertemu dalam ‘grand history Islam Nusantara’.
Dus, merefleksikan pergerakan PMII bukanlah untuk menyusun kitab kronologi atau roman sejarah yang ‘heroik dan sentmentil’, namun untuk mengenali konteks dan spirit zaman, energi hidup yang turut serta, nilai yang diperjuangkan dalam laku sehari-hari, serta nalar dan metode pergerakan itu sendiri.
Salah satu ‘subyek materil’ yang menjadi refleksi keluarga besar PMII adalah paradigma gerakan yang selama ini ‘hidup’ dalam gerak PMII. Sudah sering sekali kita mendiskusikan paradigma dalam diskusi-diskusi PMII, dalam kaderisasi formal (sejak Masa Penerimaan Anggota Baru, Pelatihan Kader Dasar, dan Pelatihan Kader Lanjut) maupun dalam ruang kaderisasi non-formal dan informal. Dalam catatan kita, ada dua penyebutan yang disebut sebagai paradigma PMII, yaitu Arus Balik Masyarakat Pinggiran dan Kritis Transformatif. Dalam rujukan, yang pertama, tak terlalu sibuk dengan konstruksi teori-teori sosial kritis pun pemikiran Islam progressif, sedang kedua, berada dalam konstruksi sebaliknya.
Perlu untuk terus mengurai sejarah paradigma di PMII. Forum PKD kali ini, Maret 2010, adalah ruang kesekian untuk membicarakan paradigma yang pernah dipakai di PMII. Warga PMII diseluruh Indonesia membicarakannya sejak rayon hingga PB, dalam diskusi harian hingga rapat-rapat kongres. Apapun statusnya, gagal atau berhasil, pemikiran tentang paradigma adalah buah dari zaman dan angkatan yang wajib diapresiasi bagi kita semua untuk mengenali capaian yang pernah ditempuh. Disitulah kebanggaan sekaligus kewaspadaan kolektif kita atas sejarah dan masa depan pergerakan organisasi ini.  
Refleksi
Arus Balik :
Sekelumit Catatan
Salah satu metode gerak yang begitu populer dalam rumusan Arus Balik adalah Free Market Idea’s (FMI)[1]. FMI adalah metode yang akan menggarap,
Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual dapat berupa kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka merumuskan pemikiran public sebagai bagian dari usaha memasarkan ide ke masyarakat. Kedua, pendelegasian. Dengan meletakkan kekuasaan sebagai patner, maka kekuasaan bukanlah kemewahan, sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi kualitatif dapat dimenangkan melalui kemenangan ide PMII. Ketiga, gerakan Kritisisme, Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa konsep, namun gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternative dari segenap kepengapan dan stagnasi pada wilayah teori maupun praksis.
Jika menyimak tiga wilayah garapan yang dituju oleh FMI dalam Arus Balik itu, maka sebenarnya sudah disadari beberapa problem fundamental dalam usaha mendorong perubahan sosial di Indonesia. Agaknya, Arus Balik lebih condong ke Gramsci ketimbang Marx. Pada wilayah pertama, wilayah tawaran konseptual, lebih dekat dengan gagasan pertarungan hegemoni, yang berkaitan dengan bagaimana PMII menjadi produsen dari pemikiran-pemikiran alternatif ditengah atmosfir intelektual masyarakat Orde Baru. Puncaknya, gagasan-gagasan PMII akan menjadi gagasan hegemonik : yang memimpin secara intelrktual, moral dan spiritual. Arus Balik, dalam konsepsinya, tak menganjurkan revolusi sebagaimana Marx. Hal ini bukan semata karena politik represif Orde Baru terhadap kaum pengikut ‘Mbah Jenggot’, tetapi sebab fundamental, citra diri komunitas PMII yang berbeda dengan citra proletar dan refleksi atas gagal revolusi 1928, 1945 dan 1965 yang dikomandani PKI kala itu.
Kedua, tampaknya Arus Balik sudah menyadari perilaku kekuasaan dan memberi peringatan bahwa kekuasaan bukanlah (untuk) kemewahan. Kekuasaan dikelola dalam kerangka menciptakan ‘konsensi-konsesi kualitatif’, dan bukan dihindari. Sehingga, pengertian negara instrumentalis ala Marx, dimana negara (hanya) menjadi alat dari kelas-kelas berkuasa yang harus dihancurkan dalam revolusi proletariat, tak diadopsi dalam Arus Balik. Sayangnya, pengertian ‘konsesi kualitatif’ disini tak dijabarkan secara jernih dan operasional sehingga bisa menjadi berbeda dalam praktik dan tujuan gerakan.  
Penegasan Citra diri (self image) komunitas dalam Arus Balik, tergambarkan sebagai berikut ini :
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan dan pedesaan dari 27 propinsi Indonesia (kala itu-SA), dengan beragam budaya, suku, etnik dan ras. Warga PMII sebagian besar dibesarkan dalam suasana santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat tradisionalisme yang tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik dan ekonomi yang marginal. Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya, warga PMII menganut ASWAJA sebagai ideology dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu Agama dan humaniora. Sementara itu ilmu-ilmu eksakta tidak mendapat ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.  
Barangkali dengan citra diri seperti itu, maka bisa dimengerti, dalam posisi marginal,  kekosongan kaderisasi kaum profesional juga terjadi, walau bukan berarti tak ada stok itu didaftar kader dan Alumni. Konstruksi citra diri penting dalam membangun gerakan, karena dengan memaknai citra diri beserta segenap kompleksitasnya, maka kita juga mengenali batas kemampuan yang dimiliki, model gerak, serta ruang kemungkinan penciptaan sistem yang sama sekali baru (condition of possibility).    
Namun, pada dasarnya, sebagaimana dikatakan Hery Azumi, kedua paradigma itu memiliki karakteristik yang sama :
pertama,  keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa mengandaikan kompleksitas actor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi.. kedua, paradigm itu hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resistensi tanpa tujuan, yang penting melawan…ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategy (not strategy-driven paradigm)..
Kritik pertama, bahwa Arus Balik tak cukup awas dalam memahami kompleksitas aktor nasional dan keterkaitannya dengan perubahan ditingkat global serta siklus ekonomi dan politik bisa dipahami dalam kerangka teori ketergantungan. Teori ketergantungan (Dependency Theory) lahir dari tradisi ilmu sosial Amerika Latin, yang merupakan reaksi atas kebijakan Industrialisasi Substitusi Import (ISI) dinegara itu. ISI sendiri berusaha untuk menjadi ekonomi negara-negara di Amerika Latin menjadi modern dan kompetitif dimana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi ukuran utama. Dalam perjalanannya, ISI melahirkan otoritarianisme baru disana, dimana kaum borjuasi, militer serta teknokrat menjadi penyangga utamanya. Pada konteks inilah, ketergantungan membasiskan kritiknya : kemiskinan yang tak pergi dari masyarakat dunia ketiga dikarenakan pengintegrasian dirinya kedalam pembagian kerja internasional yang kapitalistik. Sehingga dalil perdagangan internasional berdasarkan ‘keunggulan komparatif-nya Ricardo akan menciptakan keseimbangan dan kemakmuran bangsa-bangsa dunia tak pernah akan nyata dalam praktiknya. Sebagai contoh solusi keluar dari situasi ini, Andre Gunder Frank, salah satu peletak dasar teori ini, menganjurkan revolusi untuk memutus belenggu ketergantungan itu.
Perlu digarisbawahi bahwa teori ketergantungan telah menjadi school of thought dalam teori pembangunan. Didalamnya banyak variasi teori dan saling kritik diantaranya walau kelompok ini membasiskan kritiknya untuk menghajar habis teori pembangunan modernisasi. Karena itu, jika Arus Balik dikontekskan dalam tradisi kritik gaya ketergantungan, maka tak terlalu jelas posisi apa yang dianutnya. Yang agak jelas disini, Arus Balik memahami negara orde baru sebagai jenis negara yang telah mencapai status otonom, dimana birokrasi dan teknokrasi menjadi ruhnya. Pengertian ini juga dikenal dalam ulasan-ulasan teori ketergantungan.
Barangkali disinilah, kekurangan dalam mengenali kompleksitas aktor dan siklus yang menyertainya tak cukup dibaca oleh Arus Balik. Bubarnya negara orde baru adalah puncak pergerakan, kondisi posta-orde baru hampir tak diuraikan, contingency plan jenis apa yang dirumuskan. Namun, bukankah gagal gerakan dinegeri ini, sejak 1966 hingga 1998, dikarenakan oleh tak dimilikinya desain menyeluruh itu ?.    
Kedua, kritik bahwa Arus Balik tak pernah menjadi habitus atau laku hidup anak-anak PMII.  Dengan maksud lain, paradigma ini, paling jauh singgah sebentar dikepala, tapi tak menjadi keutuhan diri kader. Dilokus yang lain, Arus Balik masih hidup sampai hari ini dalam pergerakan PMII. Namun fakta mayoritas mungkin lebih parah dari yang dimaksud Azumi, karena jika kita meluangkan waktu untuk mendalami Arus Balik dengan segenap kompleksitas rujukan gagasannya lalu mengkonfrontirnya dalam ‘real movement PMII’ diseluruh Indonesia, maka kita akan menemukan kondisi berbeda. Alih-alih memahami isi gagasan dan praktiknya, banyak cabang yang bahkan tidak mengenal istilah Arus Balik, tidak tahu kalau paradigma ini pernah ada di PMII. Kendala paling mendasar adalah sistem distribusi pengetahuan yang tidak berjalan baik dan kendala-kendala sosial-teritorial ditiap lokus yang masih menjadi faktor penghambat. Artinya, diluar sistem distribusi pengetahuan, kenyataan ditiap lokus begitu kompleks dan perlu siasat khusus dalam merumuskan pergerakan jenis apa yang mungkin dilakukan; yang compatibel dengan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, Arus Balik juga melupakan faktor sejarah dan geografi kawasan dalam merumuskan paradigma.
Ketiga, kritik bahwa paradigma ini tak didorong oleh strategi (not driven by strategy). Sesederhana apapun, Arus Balik masih punya strategi jangka pendek, sebagaimana tercermin dalam FMI yang ditumpukan dalam tiga medan gerak diatas. Lebih tepat yang dimaksud adalah strategi yang berkelanjutan, strategi yang dalam bahasa Azumi : runtut dalam memperhitungkan faktor-faktor produksi, distribusi dan warring position. Dalam konteks ini, Arus Balik lalu bisa kategorikan ‘reaksioner’.
Lalu, apa tawaran yang diajukan oleh Menggiring Arus buat PMII ?.
Menggiring Arus :
Sekelumit Usaha Untuk Memahami
Menggiring Arus belumlah menjadi paradigma yang diformalkan di PMII, sebagaimana dua paradigma sebelumnya. Paradigma ini belum dicatat di AD/ART organisasi. Nama ini dipakai oleh Hery Haryanto Azumi, mantan ketua umum PB PMII masa khidmat 2006-2008, yang pertama kali di-launching ditengah warga pergerakan ketika berlangsung kongres Bogor. Hery adalah kader PMII Ciputat, yang berbasis di UIN Syarif Hidayatullah, cabang yang punya tradisi tua di PMII.
Hery Azumi menganjurkan agar kita mendefinisikan diri kita (dari PMII, Nahdlatul Ulama, hingga bangsa ini) kedalam gerak sistem dunia. Dia menukil pandangan sistem dunia itu bahwa :
Dalam sudut pandang world-systemizers, dunia dibagi dalam dua wilayah kerja (international of labour), yaitu core dan periphery. Dan diantara keduanya terdapat wilayah transisi (katakanlah wilayah penyangga), yang disebut sebagai semy-periphery. Dilihat dari arus umum produksi, distribusi dan wilayah perebutannya, maka negara-negara yang tergolong dalam periphery adalah penyedia raw materials sekaligus sebagai pasar bagi produksi negara-negara yang disebut sebagai core.
Sistem Dunia adalah gugus teori yang juga merupakan school of thougt dalam tradisi teori pembangunan. Teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein yang tergabung dalam Fernand Braudel di Binghamton University, Inggris. Wallerstein berkesimpulan bahwa dalam sejarah dunia, hanya ada tiga sistem yang mengglobal, yaitu sistem mini, sistem imperium dan sistem kapitalisme. Yang pertama hidup dalam masyarakat tribal, kedua diwujudkan dalam imperium Persia, Mongol, juga Russia, serta ketiga, sebagaimana terwujud dalam zaman sekarang.
Karena itu, maka sistem dunia membicarakan ‘nasib sebuah bangsa’ dalam pertarungan interstate system (dalam ruang pergaulan dan persaingan antar bangsa). Konsekuensi politisnya, eksistensi sebuah pergerakan adalah dalam pertaruhan bangsanya, bukan pertaruhan kelompok-kelompok.
Posisi bangsa kita berada dalam level periphery, terutama sejak gelombang kolonialisme awal 1500-an yang ditandai dengan kemunduran kerajaan Srivijaya, terus Majapahit dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kolonialisme juga merupakan buah atau dark side dari modernisasi yang mulai memasuki masa emasnya sejak 1600-an di Barat. Teknologi pelayaran dan maritim serta militer berkembang pesat disertai sistem ekonomi yang bergeser dari merkantilisme ke kapitalisme. Lalu, berdatanganlah bangsa-bangsa Barat itu keseluruh penjuru Nusantara untuk membangun wilayah pengaruh, misi keagamaan, dan kuasa ekonomi. Sejak saat itu, tak ada lagi ‘Amukti Palapa jilid II’, sebagaimana Amukti Palapa jilid I-nya Mahapatih Gadjah Mada dulu.  
Dus, kita terus saja menjadi bangsa penyedia bahan mentah (raw material’s) yang diperebutkan, sebagai produsen bahan baku maupun pasar komoditi negeri-negeri diatas angin itu (baca : Barat). Posisi politis negara tak lagi jumawa dan perkasa seperti era pembangunanisme, hari ini adalah masa emas korporasi. Sumberdaya pertambangan, air, hingga pelayanan publik takluk dalam pengkondisian korporasi. Hal ini yang dijelaskan dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi dan statistik kemiskinan dan jarang mengurai relasi aktor dan penguasaan dibalik statistik-statistik itu.
Dalam kondisi yang demikian, maka Azumi menawarkan apa yang disebutnya sebagai paradigma berbasis kenyataan (reality-based paradigm). Paradigma berbasis kenyataan adalah paradigma yang memadukan sejarah sebagai bahan penyusun dan kenyataan hari ini. Model paradigm berbasis kenyataan di Indonesia telah lama ditinggalkan, terutama sejak wafatnya Tan Malaka. Bisa dikata, sejarah adalah bahan baku yang menyusun paradigma, bukan semata ‘kisah masa lalu’, namun energi yang hidup dan membentuk masa kini, dimana dalam masa kini inilah, kita bertaruh akan masa depan.
Terkait model gerak, dengan mengadopsi pembagian Wallerstein, Azumi berpendapat sudah tidak tepat PMII mengambil jalan paradigm anti-systemic, yang fokus untuk membalik dan menghancurkan arus global. Bagi Azumi, jenis gerakan ini adalah wujud dari mentalitas xenophobia, serba anti dengan orang asing. Anti-systemic movement akan mengakibatkan kita tak mampu mengambil pertukaran dan interaksi sosial yang bisa berdampak positif terhadap kebutuhan pergerakan kita. Bahkan, yang paling fatal,  dapat terpeleset menjadi korban.      
Sedangkan jika mengambil jalan systemic movement tanpa sikap kritis yang aktif hanya akan menjadikan kita sebagai marsose. Yaitu pergerakan yang dengan sukarela, bahkan tak jarang disertai kebanggaan, untuk melayani maunya bangsa asing. Sesudah itu, kita dihinggapi perasaan sedang naik kelas. Ujungnya, kita hanya akan memperkuat sistem yang sedang berjalan dan menumbalkan bangsa ini.
Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan kader-kader HMI-MPO disekitar tahun 2008 silam, kami pernah menguraikan pendekatan kritik sosiologi atas dunia hari ini sebagai berikut :
George Ritzer, yang terkenal dengan tesis Mcdonaldization of Sciety (1999), dalam karya terbarunya Globalization of Nothing (2006) memperkenalkan satu istilah yang disebutnya dengan grobalisasi. Grobalisasi merupakan kombinasi dari kata growth (Inggris) yang bermakna pertumbuhan, global (mondial) yang bermakna dunia dan akhiran ‘sasi’ yang menjelaskan ‘proses’. Grobalisasi menunjuk pada proses pertumbuhan dan penyebaran mesin ekonomi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia yang mengintegrasikan kawasan-kawasan, negara-bangsa, ke dalam sistem pasar tunggal. Grobalisasi, sebagaimana telah diperingatkan Marx jauh sebelumnya, menegaskan daya produksi dan penghancuran kreatif (creative destruction) sebagai mode produksi ekonomi yang menghancurkan moda produksi pendahulunya (komune primitif, perbudakan dan feodal). Dalam proses yang sama, selain kapitalisme, grobalisasi digerakan oleh Amerikanisme dan ‘prinsip-prinsip mcdonaldization of society’ yang terus meluas dan berkembang melintasi batas negara dan kawasan. Sebagaimana diulas Ivan Hadar (2002), Amerikanisme,yang mencerminkan nilai-nilai amerika, terutama gaya hidup dan kebiasaan, kini telah berkembang menjadi ‘sistem nilai’ sentral dari kampanye AS dengan ‘war againts terorism’.
Untuk konteks Global War Againts Terorism-nya Bush, dalam artikel yang sama dengan kutipan diatas, kami berpendapat :
Bagi George W.Bush dan kaum Hawkish, seperi Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, juga Condo Rice, segala gerakan yang menetang nilai-nilai amerika adalah gerakan teror !!. Dengan begitu, aktifitas pergerakan yang disebut teroris tak lagi sebatas gerakan yang mengeksploitasi simbol-simbol agama sebagai spirit dan orientasi gerakan, sebagaimana Bin Ladin, JI, ataupun Hammas. Terorisme dalam sudut pandang kaum Hawkish Amerika, juga berupa gerakan kebangkitan kaum pribumi bersenjata (indigenous people movement) sebagaimana Zapatista di Meksiko, atau pemerintahan nasional berdaulat yang secara terbuka menyerang kepentingan AS seperti Iran.
Dunia hari ini jelas tidak berjalan dalam satu kendali blok (ideologi, ekonomi dan militer). Sejak bubarnya Soviet ditahun 1980-an, yang menandai berakhirnya bipolarisme global, Amerika Serikat sempat jumawa, namun itu tak lama. Perlahan namun pasti China menyalip laju Amerika dan Russia baru muncul dibawah Vladimir Putin dan geng Siloviki-nya.
Lembaga think-thank Goldman Sachs (Kompas, 19/06/09, suplemen Fokus) di Amerika Serikat, meramalkan dibilangan tahun 2027, pertumbuhan ekonomi China akan menyalip AS, dan ditahun 2050, India yang akan menyamai AS. Selain itu, masih menurut Goldman Sachs, ada sebelas negara lagi (N-11), yakni Indonesia, Mesir, Iran, Korsel, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Turki, Vietnam, dan Filipina yang akan tumbuh pesat sebagai kekuatan ekonomi baru dunia menggeser dominasi G-8 pada tahun 2050-an keatas. Perkembangan ini masih ditambah lagi geliat perlawanan terbuka (open resistance) terhadap ‘imperium pasar bebas Amerika Serikat di NAFTA’ yang dibangun poros Brazil-Kuba-Venezuela-Bolivia di Amerika Selatan lewat poros Mercosur. Tegaslah bahwa perkembangan dunia sekarang makin menegaskan gerak dunia yang multi-kutub.
Terhadap kawasan Asia-Pasifik, Amerika dan China sedang bertarung memperkukuh kendali ekonominya. Amerika mengembangkan blok kerjasama yang disebut Trans Pacific Patnership (TPP) sedang China hadir dengan China-Asean Free Trade Area (CA-FTA). Sebenarnya, jika sedikit mengurai lagi sejarah perdagangan dikawasan Asia Tenggara, hubungan China dan kawasan ini sudah berlangsung berabad-abad. Demikian juga interaksi ekonomi Asia Tenggara dengan Amerika Tengah (Acapulco, Meksiko), yang dipelopori oleh pelaut-pelaut Spanyol lewat Manila kala itu. Yang menjadi soal sekarang adalah, sejauhmana Asia Tenggara diuntungkan dengan kerjasama perdagangan ini.
Lalu, bertumpu pada pada kompleksitas diatas, pilihan apa yang ideal ditempuh PMII ? Azumi menganjurkan kita mencoba model non-systemic movement yang di-pribumisasi-nya dengan istilah Menggiring Arus, yaitu model pergerakan yang :
Berjalan didalam  system yang tengah beroperasi tetapi tidak bekerja untuk untuk system tersebut sambil menciptakan condition of possibilities untuk membangun system yang sama sekali berbeda..
Untuk menciptakan ‘kondisi bagi kelahiran sistem yang baru itu’, tak cukup lagi berjalan dengan model single front, sebagaimana tercermin dalam riwayat pergerakan selama ini. Single front yang dimaksud bukan dalam pengertian ‘tanpa koalisi’, tetapi lebih pada produksi, distribusi dan warring position diluar pengertian yang ekonomistik. Dalam kebutuhan di PMII, maka kaderisasi menjadi kunci yang harus terus diperbaiki secara kualitatif guna menciptakan stok kader yang memiliki multi-kapasitas dan mampu bertarung dalam kondisi multi medan tanpa harus berkembang menjadi saling mangsa dan saling membinasakan.
Wawasan dan cara padang geo-strategi (geo-ekonomi dan geo-politik) sangat dibutuhkan dalam konteks dunia yang demikian. Khususnya untuk mengenali sejarah, kompleksitas aktor, set of interest, dan manuver dan rumusan permainan yang menghubungkan negara-negara menurut kontur geografi dan peta perebutan sumberdaya alam. Dalam percapakan geopolitik, dunia hari ini sedang menyepakati ‘the great game’ yang mengambil medannya diwilayah Eurasia (irisan Eropa dan Asia), dimana bertumpu pada perebutan energi disekitar wilayah teluk (Gulf Area’s). Dikawasan ini, semua negara maju bertarung kepentingan, baik yang mewarisi semangat Anglo-Saxon (UKUSA), semangat imperium ala Shanghai Five (SCO), pun persatuan Eropa Lama gaya (MEE). Karena itu, isu teroris, HAM, dan demokrasi akan terus menghajar masyarakat Islam.   
Terkait dinamika kontemporer, pada sebuah kesempatan, kami pernah menulis, potret perkembangan kader PMII hari ini telah jauh berbeda dengan yang digambarkan Arus Balik :
Salah satu gejala yang berkembang ditubuh PMII adalah pola gerak yang membawa PMII untuk terus eksis dan meninggalkan gerbong jamaah besar Nahdliyin. Kultur Hibrida yang berkembang di PMII, atau anak muda NU pada umumnya, mesti diakui sebagai buah dari penerapan strategy Free Market Idea’s (FMI) yang membuka ruang-ruang baru bagi perburuan wacana, gagasan, dan pemikiran-pemikiran baru dan menjadi ikon dalam dunia pemikiran anak muda di Indonesia. Akan tetapi, semangat perburuan intelektualisme itu, dalam beberapa segi justru menafikan eksistensi dan warisan tradisi pemikiran yang tumbuh didalam kultur Nahdlatul Ulama (NU), kalau bukan malah menyerang NU dengan stigmatisasi yang juga digunakan oleh para orientalis (Indonesianis) seperi : tradisionalis, kolot, TBC, dll. Walau gejala seperti ini bisa dipahami sebagai bagian dari proses internal warga Nahdliyin—sebagaimana juga ‘arus wacana yang membela NU’ sedang marak berkembang—PMII belum merumuskan model desaign yang operationalable juga kompatibel dengan gerak besar NU. Sejauh ini PMII baru tiba pada sikap-sikap normatif-deklaratif, seperti dalam deklarasi-deklarasi, rumusan konstitusi, dan lain-lain.
Jika potret seperti ini bisa digunakan sebagai rujukan melihat perkembangan kader-kader PMII, maka menciptakan kader yang multi-talenta adalah kebutuhan yang harus diperjuangkan tanpa harus membuang total capaian-capaian pergerakan sebelumnya. Kita masih harus meminjam kaidah fiqih yang sering diingatkan oleh ulama-ulama NU : ‘ Mukhafadzah ‘ala alQadim asShalih wa akhdzu bi alJadid alAslah’ yang bermakna memelihara sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dalam hemat kami, Menggiring Arus jika dijadikan sebagai model, maka nalar paradigma ini berkehendak untuk menghimpun seluruh sumberdaya dan energi pergerakan, dari level politik hingga sosial, struktur dan kultur, atas-bawah-kanan-kiri kedalam satu operasi yang by-design saling menguatkan, bukan saling mengamputasi. Dus, definisi kelompok yang dimaksud adalah dalam batasan aktor semata-mata, bukan sebagai tujuan yang tidak diabdikan terhadap komunitas yang lebih besar diluar dirinya. Perbaikan kehidupan bangsa adalah capaian tertinggi sebuah pergerakan. Kalau ini yang dipakai, maka pengertian kelompok yang diacu lebih mewakili jenis vanguard, bukan jenis yang elit.
Vanguard adalah kelompok yang bekerja merintis jalan bagi lahirnya masyarakat baru, bukan menjadi kelompok yang menikmati puncak-puncak kuasa politik dan kekayaan material lalu melupakan asal-usul dan meninggalkan bangsanya dalam kubangan kemelaratan. Disinilah titik tegang yang akan dijumpai jika pergerakan kita telah mampu naik level dalam penciptaan sistem masyarakat yang baru.
Penutup
Masih banyak pertanyaan yang mengendap dalam benak kita, diantaranya : pertama, bukan saja soal uraian tentang paradigma di PMII, tetapi juga koherensinya dengan NDP dan Aswaja sebagai manhajul fikri PMII agar kita menemukan ‘keutuhan wawasan dan keutuhan citra diri’. Kedua, bagaimanakah memahami Menggiring Arus, atau jika dipandang perlu, merevisi paradigma ini, lalu menerapkannya kedalam local front kita masing-masing. Wallahualam bi shawab.
      Subronto Aji