Pages

Kamis, 04 Desember 2014

Belajar Kepemimpinan dari Monkey D. Luffy

Memutuskan menjadi seorang pemimpin memang bukan hal yang sulit. Tapi menjalankan amanat dan memanajemen organisasi dalam konteks kepemimpinan bukan hal semudah membalikkan telapak tangan.
Karakter dan prinsip seseorang akan diuji dalam menerima jabatan ini. Baik sebagai ketua lembaga, organisasi atau bahkan hanya sebagai koordinator kelompok kecil sekalipun. Karna tidak sembarang orang berhasil keluar dan lolos dengan selamat, dari cengkraman posisi ini.
Monkey D. Luffy, adalah sosok pemimpin sejati yang unik. Kapten Bajak laut yang menjadi tokoh utama dalam komik One Piece karya Eiichiro Oda ini, memiliki magnet kepemimpinan yang sangat luar biasa. Metode persahabatan yang dia gunakan saat menjadi seorang pemimpin, sama sekali tidak melunturkan citranya sebagai seorang kapten bajak laut.
Sekilas, si Topi Jerami ini tak terlihat seperti seorang pemimpin. Tapi jangan salah, sosoknya yang cenderung terlihat seperti anak bodoh ini sangat disegani dan dipatuhi oleh para anggotanya. Bahkan tak satupun anggota bajak laut yang dia pimpin, berniat melanggar apapun intruksinya. Lalu apa kunci dari metode kepemimpinan yang diterapkan Luffy?
Memandang Anggota sebagai Teman
Sebagai kapten, Luffy tidak pernah memposisikan anggota bajak laut yang dipimpinnya sebagai bawahan. Dia selalu memposisikan anggotanya sebagai teman yang memiliki posisi, tanggungjawab serta keahlian yang berbeda-beda. Namun semuanya tergabung dalam satu kesatuan sebagai tim.
Meski demikian, Luffy memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi sebagai kapten dalam tim. Dia menjadi sosok yang selalu mencoba melindungi setiap anggotanya. Hanya satu alasan yang selalu dia lontarkan saat melindungi anggotanya, “karna dia adalah temanku”.
Rasa saling memiliki serta loyalitasnya yang tinggi kepada setiap anggotanya inilah, yang menumbuhkan rasa cinta serta kekompakkan tim. Setiap anggota terdorong untuk melakukan hal yang sama satu sama lainnya.
Tanggungjawab yang Tinggi
Meski terlihat menyebalkan dan bodoh, Luffy selalu ambil bagian pertempuran yang paling berat dan berbahaya. Tidak sepeti pemimpin pada umumnya yang cenderung hobi memberikan intruksi kepada anggota, dia selalu ambil bagian dalam menyelesaikan pertempuran atau dalam setiap masalah apapun.
Hal inipun mengajarkan kepada setiap anggotanya untuk sensitif terhadap segala situasi. Efeknya, jika tim tersebut dihadapkan oleh sebuah masalah, masing-masing anggota dengan sendirinya, akan mengambil bagian dan saling membantu tanpa harus diperintah.
Bijaksana
Secara kasat mata, Luffy sama sekali bukan sosok yang mencerminkan sikap bijaksana. Meskipun kerap plin plan, namun Luffy selalu mengambil keputusan tegas dalam situasi yang terdesak. Keputusan yang diambil memang kerap gila dan membuat anggotanya kesal bahkan marah, karna terpaksa harus mengikuti keputusannya sebagai kapten. Meski demikian, insting Luffy tak jarang meleset meskipun awalnya dianggap sebagai keputusan yang gila dan mustahil.
Luffy adalah sosok yang menghargai pendapat dan keinginan setiap anggotanya. Dalam berbagai kondisi, dia selalu memberikan kesempatan kepada setiap anggotanya untuk berpendapat dan menyelesaikan suatu hal. Inipun dia lakukan berdasarkan pemahamannya terhadap kemampuan serta keahlian dari masing-masing anggotanya.
Perlakuan yang dia terapkan pada setiap anggota tersebut pun, mampu menularkan sifat keterbukaan dan saling percaya dalam tim. Luffy juga merupakan sosok yang membebaskan setiap anggotanya untuk mengejar mimpinya masing-masing.
Berkarakter, Memiliki Prinsip dan Tulus
Karakter Luffy yang bandel serta prinsipnya yang tidak pernah takut apapun bahkan kematian, memancarkan aura kepemimpinan yang sangat sempurna. Ketulusannya dalam melindungi serta memimpin teman-temannya berlayar, menjadi magnet tersendiri bagi setiap anggotanya. Meskipun kerap bersikap seperti kekanak-kanakan yang menyebalkan, namun Luffy adalah sosok pemimpin yang tegas dan bijak.
Oleh Novriana Dewi
Penulis adalah tim manajemen pmii.or.id

Rabu, 03 Desember 2014

KETIKA KONFERENSI CABANG HARUS GAGAL KARENA KEPENTINGAN.



Rusaknya Perisai Lamongan Akibat Korosi Tendensi
 (Politik Balas Budi, Egosentris Pribadi, Sesuap Nasi)

Rabu, 03 Desember 2014 catatan Buku Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia Memiliki cerita buruk, untuk pertama kalinya Konferensi Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kabupaten Lamongan gagal dalam pelaksanaanya, bahkan gagalnya KONFERCAB ini meninggalkan citra buruk bagi banyak kader yang mengikuti konfercab, meskipun dalam sejarahnya KONFERCAB selalu terjadi gesekan gesekan kuat dalam prosesnya, akan tetapi  secara keseluruhan acara KONFERCAB selalu sukses terlaksana dan selesai sesuai jadwal yang sudah di siapkan, tidak halnya dengan KONFERCAB PC.PMII LAMONGAN 2014, yang di jadwalkan pada 30 september dan berakhir pada 03 desember 2014 oleh panitia justru “korat-karet” dan tidak selesai hingga jadwal yang sudah di tetapkan panitia,  selesai dalam arti bahwa KONFERCAB Mengevaluasi  kerja kepengurusan  Cabang  tahun ini dan memunculkan rekomendasi-rekomendasi untuk tahun depan  serta memilih pemimpin baru untuk kepengurusan selanjutnya, jangankan menyelesaikan 3 hal pokok dalam KONFERCAB tersebut, forum sidang pun tidak pernah terjadi.!! Seperti kita tahu dapat disebut sebagai forum sidang jika di dalam forum terdapat presidium sidang, peserta sidang dan tentunya draf yang kita bahas.  Akan tetapi dalam KONFERCAB tahun ini berbeda,  di dalam forum ada perserta sidang namun peserta sidang di biarkan berargument bebas tanpa adanya presidium yang  sah  memimpin forum tersebut sehingga yang nampak justru seperti para ibu-ibu rumah tangga yang sedang adu bacot dengan tetangganya. Debat kusir tanpa akhir....!!!

            Lalu, sebenarnya apa yang membuat semua itu terjadi..??? yap, jawabanya ketidaksiapan panitia dan pengurus cabang dalam melaksanakan konfercab yang secara analisa sudah di tumpangi oleh TEDENSI-TENDENSI KEPENTINGAN,  tendensi yang sudah lama ada dalam tubuh perisai yang akhirnya berkorosi di dalamnya hingga hari ini menghadirkan kehancuran Perisai Lamongan dalam perjalanan panjang sejarah Perisai Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Lamongan. Tendensi inilah yang membuat Ketua Cabang tahun ini tidak bisa berbuat banyak saat di hadapkan dengan protes  keras oleh para perserta KONFERCAB yang di wakili dari tiap-tiap Rayon dan Komisariat se-Lamongan, seabanya adalah  ada lima Rayon dadakan yang disahkan dengan Surat Keputusan Ketua Cabang dengan Status Rayon Definitif. Sedangkan lima Rayon baru ini baru di tetapkan pada bulan terdekat memasuki moment KONFERCAB yaitu pada bulan septerber tahun ini, padahal sesuai aturan AD/ART, dikatakan sebagai Rayon definitif  apabila Rayon yang di maksud sudah melakukan proses pengkaderan didalam rayonnya minimal satu tahun dengan sudah membuat MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru)sendiri, jika syarat itu sudah dilaksanakan maka pengurus rayon yang di maksud berhak mendapatkan Surat Keputusan sebagai rayon defitif dan bukan menjadi rayon persiapan lagi. Inilah biang dari kegagalan KONFERCAB tahun ini, meski mendapat banyak protes dari banyak peserta, ketua cabanga dan ketua SC KONFERCAB “kekeh” ingin tetap meloloskan lima rayon yang seharusnya  masih berstatus rayon persiapan itu yang seharusnya belum bisa mendapatkan surat keputusan rayon definitif  tersebut sebagai peserta KONFERCAB.
            Yang paling miris adalah bukan hanya keberpihakan pada salah satu kelompok, akan tetapi ketua cabang  yang seharusnya paling bertangggung jawab atas suksesi pelaksanaan KONFERCAB tahun ini justru membiarkan para peserta yang di undangnya  “keleleran” tanpa ada tempat  istirahat yang layak, tidak tepatnya jadwal yang disusun, bukan terlambat  1-10 menit, akan tetapi ber jam-jam dan banyak peserta yang mengeluhkan ketidaksiapan Panitia dan Ketua Cabang dalam melaksanakan  KONFERCAB dengan merusak fasilitas KONFERCAB seperti membakar Benner KONFERCAB  sebagai bentuk kegagalan KONFERCAB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Lamongan tahun 2014 ini. “ mereka dirampas haknya, terlantar dan lapar” ujar salah satu peserta KONFERCAB.
            Entah ini tentang tendensi balas budi, sesuap nasi dan atau egosentris pribadi, yang jelas tedensi ini telah banyak merugikan PMII secara institusi, hanya karena kepentingan pribadi hingga merugikan institusi PMII baik secara Eksistensi maupun Kaderisasi di lamongan. Sebab dengan adanya sejarah kelam berupa KONFERCAB gagal ini perjalanan sejarah Pergerkan Mahasiswa Islam Lamongan berada pada titik  terendah,  dalam setahun kegiatan formalitas sangat jarang ada bahkan nyaris tidak ada, sedangkan proses KADERISASI  pengawalan pada Komisariat-Kosariat tidak berjalan baik, sebagai contoh nyata adalah tidak adanya Ketua Cabang saat di undang dalam acara-acara penting macam Pelantikan Pengurus Komisariat  dan Pengurus Rayon UNISDA 2014. 
            Semoga saja hari ini menjadi titik balik untuk pengurusan tahun depan (belum ditentukan siapa, karena KONFERCAB akan di ambil oleh PKC JATIM) untuk membawa kembali Eksistensi dan Kejayaan PMII yang pernah di capai dahulu. Amiiin....

Kamis, 27 November 2014

Demo BBM, Mahasiswa Gabungan Paksa Bupati dan Ketua DPRD (Cipayung lamongan)

Demo BBM, Mahasiswa Gabungan Paksa Bupati dan Ketua DPRD
Senin, 24 November 2014 17:59 WIB
Demo BBM, Mahasiswa Gabungan Paksa Bupati dan Ketua DPRD
surya/hanif manshuri
Tampak Ketua DPRD Lamongan, Kaharudin membubuhkan tandatangannya di atas spanduk yang diusung gabungan mahasiswa, IMM, PMII dan HMI sebagai bukti dukungannya terhadap penolakan kenaikkan harga BBM, Senin (24/11/2014).
SURYA Online, LAMONGAN - Ratusan mahasiswa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bergerak bersama melakukan aksi demo menola penaikkan harga BBM, Senin (24/11/2014).
Para mahasiswa underbow Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ini mengalami aksinya dari bundaran Adipura jalan Lamongrejo - Jaksa Agung Suprapto seperti umumnya aksi berorasi dengan berbagai tuntutannya."Kami tetap menolak kenaikkan harga BBM. Pemerintahan Joko Widodo ternyata menyengsarakan rakyat,"tegas Wahyu Widodo saat berorasi, Senin (24/11).
Ketika tiba di Kantor Pemkab, gabungan para mahasiswa ini mendaulat pemimpin tertinggi Lamongan agar mau menemui dan membubuhkan tandatangannya sebagai bukti dukungannya terhadap mahasiswa soal penolakan kenaikkan harga BBM.
Sayang, orang nomor 1 di Lamongan itu, Fadeli tidak menemui pendemo. Dan diwakili Asisten Ekonomi dan Pembangunan, Faiz Junaidi.
"Kabupaten Lamongan ini mayoritas penduduknya adalah petani, nelayan dengan kemampuan ekonomi pas - pasan,"tegas Wahyu.
Mereka saat ini telah dihadapkan pada problema kenaikkan harga bahan pokok sebagai akibat kenaikkan harga BBM. Pemerintah daerah, atau bupati harus ikut bertanggungjawab sekaligus harus berani menolak kenaikkan harga BBM.
Mahasiswa akhirnya memaksa Asisten Ekonomi dan Pembangunan untuk membubuhkan tandatangannya di atas sepanduk sebagai bukti kalau bupati dan pemerintah Lamongan juga tidak mendukung program pemerintah yang menaikkan harga BBM.
Puas dengan langkah Faiz yang memberanikan diri membubuhkan tandatangannya sebagai bukti dukungannya terhadap mahasisa yang menolak kenaikkan harga BBM, sekitar 200 mahasiswa ini berlanjut untuk bergeser ke Gedung DPRD di Jalan Basuki Rahmad.
Di depan pintu gerbang DPRD, massa ditemui langsung Ketua DPRD, Kaharudian dan sejumlah Ketua Fraksi PKB, Sukandar, dan Debby Kurniawan dan sejumlah anggota DPRD. Namun hanya Kaharudin, sang Ketua DPRD yang membubuhkan tandatangannya mendukung penolakan kenaikkan harga BBM. Di bahu Jalan Basuki Rahmad, tepat di depan pintu gerbang DPRD, Kaharudin membubuhkan tandatangannya di atas sepanduk.
“Apa yang menjadi aspirasi masyarakat akan kita perjuangkan. Sikap DPRD Lamongan menolak kenaikkan harga BBM. Sama dengan anda (mahasiswa, red), dan ini sama dengan harapan kita,”tegas Kaharudin .
Tak hanya itu, Kaharudin juga ditodong untuk menandatangani pernyataan sikap penolakan kenaikkan harga BBM di atas kertas yang telah diformat para pendemo. Melihat hanya Ketua DPRD yang tandatangan, sementara ada sejumlah Ketua Fraksi yang membuntuti Kaharudin, massa meminta perwakilan PKB, PDIP untuk turut serta tandatangan.
Namun permintaan para mahasiswa itu tidak direspon oleh PKB maupun PDIP.
“Ketua DPRD sudah cukup mewakili anggota DPRD semuanya,”elak Ketua Fraksi PKB, Sukandar dimana partainya masuk dalam koalisi Jokowi.
Beberapakali mahasiswa berteriak agar PKB dan PDIP yang ada di DPRD Lamongan ikut tandatangan tidak digubris. ‘Ayo perwakilan PKB dan PDIP ikut tandatangan sebagai bukti pembelaan anda terhadap rakyat kecil menolak kenaikkan harga BBM,”tegas pendemo. Namun, sebaliknya teriakan itu ditanggapi dinggin wakil rakyat dan anggota DPRD dari PKB, PDIP ini balik kanan masuk gedung dewan.
Massa akhirnya kembali membubarkan diri. Ketika tiba di perempatan jalan timur gdeung DPRD, pendemo kembali menggelar orasi tepat di tengah perempatan jalan hingga beberapa menit dan akhirnya membubarkan diri.
Aksi para mahasiswa ini dijaga superketan oleh anggota polres dengan melibatkan anggota dari polsek terdekat, seperti Polsek Tikung, Deket, Sukodadi, Pucuk dan Lamongan Kota. Selama aksi berlangsung tidak ada insiden menonjol yang membuat repot polisi
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok.
LIKE Facebook Page www.facebook.com/SURYAonline
FOLLOW www.twitter.com/portalSURYA
Baca Juga
Tolak BBM Naik Seminggu Demo 2 Kali
Penulis: Hanif Manshuri
Editor: Satwika Rumeksa

Sabtu, 01 November 2014

PMII kembali ke Kendali NU pada 2015

Jakarta, NU Online
Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2014, Sabtu (1/11) malam, akhirnya memberikan tenggang waktu sampai pelaksanaan Muktamar NU 2015 kepada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk kembali ke pangkuan NU.

“Disepakati bahwa PBNU memberikan tenggang waktu kepada PMII sampai menjelang Muktamar NU 2015 nanti. Jika belum ada kehendak kembali ke NU maka akan dibahas kemungkinan untuk membentuk organisasi kemahasiswaan NU yang baru,” kata Ketua PBNU Imam Aziz yang memimpin sidang komisi orgainsasi di ruang pertemuan lantai 5 kantor PBNU, Jakarta.

Menurutnya, NU merasa perlu untuk mengkonsolidasikan kader NU yang ada di berbagai perguruan tinggi. Apalagi saat ini perguruan-perguruan tinggi baru di bawah naungan NU juga semakin banyak. Sementara saat ini posisi PMII sebagai organisai mahasiswa NU dianggap tidak jelas.

“Sekarang ini ada keterputusan jenjang kaderisasi. Masa IPNU sebagai organisasi pelajar ada di perguruan tinggi! Biar IPNU fokus ke pelajar dan tidak ada perdebatan soal batas usia,” katanya.

Munas-Konbes NU belum sampai membahas nama untuk organisasi kemahasiswaan yang baru. Sempat muncul nama IMANU atau ikatan mahasiswa NU. Selain itu juga telah ada organisasi mahasiswa lain yang menamakan diri sebagai bagian dari NU, seperti keluarga mahasiswa NU atau KMNU. “Kita perlu wadah yang jelas,” pungka Imam Aziz.

Seperti diketahui, PMII didirikan pada 1960 yang merupakan kelanjutan jenjang kaderisasi NU dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada 1972 dalam suasana tekanan politik Orde Baru PMII menyatakan independen dari NU. Lalu pada 1991 PMII mengumumkan “interdependensi” yang berarti “mempunyai persamaan-persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangannya, visi sosial dan kemasyarakatan,dan mempunyai ikatan historis dengan NU”, namun tetap tidak mau menjadi organisasi kemahasiswaan atau badan otonom NU. (A. Khoirul Anam)

Kamis, 30 Oktober 2014

Diskusi Hari Sumpah Pemuda

Pemuda; Perumus NKRI
*oleh: Kangzii
(Sekretaris II PC PMII Surabaya, Direktur Eksekutif Jayabaya Politica)




Hidup Pemuda-Pemudi Indonesia…!!!
Hidup Pemuda-Pemudi Indonesia…!!!
Hidup Pemuda-Pemudi Indonesia…!!!

                Teriakan lantang yang akan kita dengar dari corong suara megaphone pemuda-pemudi  saat tanggal 28 Oktober di depan gedung megah yang di bangun oleh uang  pajak rakyat, teriakan yang memaksa otot terlihat, di bakar teriak panas matahari, berlumur debu jalanan. Apa makna yang mereka teriakkan ? sebesar apa ketulusan teriakan mereka, sebungkus nasi ataukah hanya sekedar untuk sejepret foto ?
                Pemuda selalu identik dengan semangat yang menggebu-gebu, energik, tantangan baru, Konsumen tetap hal-hal baru. Pemuda juga tidak pernah jauh dengan tindakan negative, pergaulan bebas, free sex dan drugs adalah hal-hal yang melekat pada pemuda bangsa hari ini. Pemuda hari ini adalah pemuda yang senang menerima hasil dari pada member hasil, siat konsumtif tidak di antisipasi dengan kekuatan pemberdayaan pemuda yang original, kemabli kalau kita simak ayat sumpah pemuda Indonesia:

Sumpah pemuda-Pemudi Indonesia

Kami pemuda-pemudi Indonesia mengaku
Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.

Kami pemuda-pemudi Indonesia mengaku
Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami pemuda-pemudi Indonesia
Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia

                Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang

kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat


dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17Tahun.
Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
  • Ketua                     : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
  • Wakil Ketua         : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris              : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
  • Bendahara            : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I           : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II          : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
  • Pembantu III        : Senduk (Jong Celebes)
  • Pembantu IV        : Johanes Leimena (yong Ambon)
  • Pembantu V          : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
kita coba ingat kembali sejarah awal mula gerakan mahasiswa yang ada di indonesia. 1925 persatuan mahasiswa yang di pelopori Moh Hatta dkk. yang menempuh pendidikan di belanda merasa sudah waktunya berdaulat, dan kedaulatan tersebut adalah rakyat yang terjajah oleh para pejajah yang buas.
1928, adalah manifiesto pertama yang di sepakati oleh para intelektual muda bangsa, Muhammad Yamin dkk, secara tegas dan gigih menformulasikan sebuah Sumpah Pemuda yang perjalanan nya sangat alot, Indonesia Raya pun berkumandang untuk pertama kalinya dalam forum kongres pemuda ke-II tersebut.
Apa tanggung jawab pemuda hari ini, reformulasi pendidikan, budaya, ekonomi, politik dll. Adalah hal yang harus di sentuh secara serius oleh anak muda, benturan modernism dan feodalisme serta neoliberalisme semakin rapi membunuh perlahan dengan budaya baru yang di terima secara tangan sangat terbuka oleh kalangan anak muda. Semakin kita diam semakin tergerus harga diri anak muda bangsa hari ini..








Jumat, 04 Juli 2014

PMII perspektif Ideologi



Murdianto*
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles
Catatan awal
Sangat banyak orang menggunakan kata “ideology”. Tapi seringkali kata selalu digunakan untuk menyertai tuduhan kepada fihak lain yang sangat meyakini kepercayaan tertentu. “kamu pengikut ideologi komunis”. Dalam ilmu-ilmu sosial, ideologi dapat bermakna positif dan sekaligus negatif. Istilah ini pertama kali di gunakan de Tracy pada akhir abad ke XVIII, memunculkan kata ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”
Cakupan ideologi menurut de Tracy adalah nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.
Namun dalam perkembangannya istilah ideologi di‘sempitkan’ maknanya oleh Marx, Freud. Ideologi lebih dipahami sebagai, sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘me-rasionalisasi-kan, mem-beri-kan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Namun ideologi juga sering di pandang miring alias negatif oleh banyak ilmuwan seperti yang di ungkap Arief Budiman. Ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dan ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan Marx adalah pelopor pandangan ini.
Pengertian serupa dapat di lihat dalam World Book Encyclopedia, yang mendefiniskan:
“Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang ada. …Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikasi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology).
Dan tentu untuk insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.
Ideologi dalam konteks gerakan
Ideologi dalam konteks sebuah gerakan sosial atau organisasi, atau sebagai pengatur aktivitas gerakan, memiliki beberapa aspek kunci yakni landasan filosofis dan analisis sosial, tahap-tahapan perjuangan/gerakan dan masyarakat ideal (yang dituju) dimasa depan. Artinya ideologi, selalu memiliki unsur teleologis (berpijak pada tujuan-tujuan). Setelah meneliti dari berbagai sumber dan membaca kecenderungan sebuah gerakan sosial (semacam komunisme), penulis mengidentifikasi elemen kunci dari ideologi gerakan adalah:
1. Landasan filosofis (ontologis, epistemologis maupun metode berfikir) baik tentang bagaimana realitas, manusia, masyarakat maupun sejarah di definisikan. Marx memberi contoh :
- seperti materialisme dan dialektika dalam ontologis sejarah masyarakat manusia sekaligus metode berfikir, yang menghasilkan prinsip historical materialism.
- Atau struktur sosial akan menetukan kesadaran manusia, bukan kesadaran manusua yang menentukan struktur sosial (manusia hanya obyek sejarah)
- Dan seterusnya, contoh: Ansos-nya Marx mendefiniskan ada klasifikasi kelas sosial, seperti Kapitalis, Bourguese (borjuis), dan proletar. Klasifikasi ini di lengkapi dengan teori ekonomi surplus value, untuk menjelaskan bagaimana munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
2. Tahapan perjuangan/kerja gerakan
Tahapan-tahapan yang harus/dan memang pasti dilalui untuk menuju terwujudnya kepentingan (cita-cita ideal) sebuah organisasi.
Sebagai contoh Marx dalam “Manfesto der Komuniscten Partij” tahapan yang harus dilalui adalah class struggle (pertarungan kelas).
- Yakni antara kelas feodal dan kelas kapitalis (tahap I) yang menghasilkan revolusi kapitalis
- Kemudian berlanjut tahap II yakni revolusi berjuis, berupa kemenangan kelas borjuis atas kelas kapitalis
- Yang tahap terakhir adalah revolusi komunis, yang merupakan puncak kemenangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Revolusi inilah yang menghasilkan masyarakat ideal ala marx (masyarakat komunis)
3. Masyarakat ideal. Masyarakat masa depan yang di cita-citakan: seperti daulah islamiyah, civil society, masyarakat komunis, masyarakat kapitalis dan seterusnya. Masyarakat yang hanya akan ada di masa depan
Marx misalnya berangkat dari cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan abadi di bumi, mencita-citakan masyarakat sama-rasa, sama-rata (masyarakat komunis)
Kita lihat gambaran di atas, sebuah ideologi dapat memenuhi fungsi mengarahkan aktifitas gerakan bila mampu memberikan kesan universal, obyektif dan natural. Maka ideologi selalu melakukan universalisasi, obyektifikasi sekaligus naturalisasi gagasan-gagasan yang sedang di usungnya.
Universalisasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya bisa berlaku di semua belahan dunia asal itu dunia manusia. Masyarakat komunis misalnya di ramalkan Marx akan bisa terjadi di semua tempat, dan oleh karena itu tahapan – tahapan revolusi-pun akan terjadi di semua tempat. Tanpa memandang suku, bangsa agama dan sejenisnya.
Obyektifikasi, ideologi harus mampu menjelaskan gagasan, analisis dan pandangannya di dukung oleh metode ilmiah dan empirik. Bagaimana Marx menunjukkan bagaimana cara dia menjawab pertanyaan: mengapa terjadi pengkelasan sosial. Jawabannya: adanya surplus value, yang dianut oleh pemegang modal yang diteliti dari konteks Eropa barat pada abad XIX. Bila kita amati proses ini melampaui hukum-hukum metode ilmiah yang sangat ketat, yang akhirnya sampai kesimpulan.
Naturalisasi, ideologi selalu berusaha menunjukkan gagasannya selalu alamiah (natural), yang merupakan potret kejadian yang sangat alamiah. Perputaran kenyataan kehidupan baik kemasyarakatan atau yang lainnya di definisikan oleh sebuah ideologi sebagai kenyataan yang ‘apa adanya’ dan tidak di buat-buat.
Isi dan perwatakan ideologi ini, berlaku pada semua ideologi dunia seperti kapitalisme, komunisme, nasionalisme, islamisme, dan sederet ideologi besar dunia lainnya. Kesemuannya (pada titi tertentu) mampu mensistematisir gagasannya untuk menjawab persoalan kehidupan dan kemsyarakatan manusia. Fenomena sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya akan di teropong dengan pandangan mendasar sebuah ideologi bagi para penganutnya. Untuk itu buatlah berbagai contoh jawaban dari ideologi dunia sebagaimana pengetahuan yang anda miliki, untuk mempertajam analisis kita. Walaupun dalam praktiknya kita akan menemukan kontradiksi antar elemen gagasan dalam sebuah ideologi.
Misalnya: kontradiksi antara hukum dialektika materialisme atau dialektika historisme yang mengandaikan pertarungan (proses dialektis) yang tak pernah henti dan tak pernah berakhir dalam sebuah masyarakat. Adanya akhir sejarah dalam pikiran idelogi komunis, dengan terbentuknya masyarakat komunis, bertentangan dengan dalam hukum dialektika materialisme yang tidak kenal “akhir sejarah”, sejarah adalah “pertarungan yang tiada henti”. Sebuah dialektika yang tak pernah punya akhir. Ini sebagian kecil contoh.
Dan oleh sebab itu, semakin kecil kontradiksi dalam sebuah ideologi, ia memiliki kekuatan menghadapi kritik dan serangan lawan ideologi. Semakin besar kontradiksi intenal antar konsep-konsep dalam sebuah ideologi, akan semakin lemah menghadapi serangan lawan ideologinya. Bagaimana dengan ideologi PMII bila di teropong dengan perspektif semacam ini.
Kritis, Transendensi dan Transformasi: Ideologi PMII?
Memperhatikan beberapa nilai yang sering di ritualisasi PMII dalam perjalanan sejarahnya, (saya) mencoba mencari rangkaian yang ‘mungkin’ dari ideology kita sebagai organisasi gerakan yakni:
1. Landasan etis
Disinilah posisi NDP dan Aswaja harus di letakkan. Seperangkat nilai ini membangun roh, semangat, dan keberfihakan kita. NDP jelas memberi landasan bagaimana transendensi atas nilai-nilai ilahiyah harus terwujud dimuka bumi dalam kehidupan sosial.
2. Landasan filosofis
Kritisisme, sebagai alat tafsir realitas menemukan tempatnya di sini. Namun sikap kritis ini harus di derivasi secara lebih detail dengan menggunakan pisau analisis yang lebih tajam dengan teori sosial yang sesuai dengan keberfihakan PMII terhadap basis sosial dan kulturalnya (kaum mustadha’fin dan islam tradisionalis).
3. Tahapan perjuangan/kerja gerakan
Agensi subyek dan Trasendensi. Istilah “rekayasa sosial menghasilkan kader PMII yang bercitra ulul albab menemukan posisi di wilayah kerja perjuangan. Sebagai organisasi kader, sudah seharusnyalah kader (agen) memiliki posisi sentral. Kerja dan perjuangan gerakan sepenuhnya di abdikan terhadap proses kaderisasi, yang dapat dipastikan memiliki implikasi sosial, lewat proses diaspora kader dalam ruang-ruang masyarakat sipil.
4. Masyarakat ideal.
Civil Society, dalam arti masyarakat yang demokratis dalam politik, memiliki keadilan dalam ekonomi, dan kesetaraan sosial.
Namun, skema diatas masih terlalu dini untuk menjadi ideology yang tangguh. Karena berbagai kontradiksi internal antar konsepsi dalam ‘ideologi’ yang kita punya. Beberapa pertanyaan di bawah ini sebaiknya kita jadikan renungan, bahkan agenda kita ke depan.
Pertanyaan bagi PMII?
Dengan deskripsi diatas, (saya) belum mampu menemukan apa ideologi (dalam pengertian yang fix) yang di anut PMII. Dan (menurut saya) banyak hal yang menyebabkan PMII belum bisa di katakan memiliki sebuah ideologi. Mungkin juga, para pendirinya memang tidak menginginkan PMII terjebak dalam sebuah ‘ideologi beragam ideologi’ atau ‘ideologi ambil sana sini’. Atau juga kemungkinan lain, misalnya PMII memang selalu bingung dengan beragam ideologi yang tersedia dan tidak punya kekuatan atau keinginan untuk memilih. Semuanya serba mungkin.
Untuk yang terakhir, saya memiliki beberapa pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya. Dan mungkin akan menjadi agenda PMII dan kadernya, di masa yang akan datang :
Pertama, “Apakah jenis kelamin ideologi yang dianut PMII, diantara peta ideologi besar dunia dimana? Apakah karena PMII menganut Paradigma Kritis-Transformatif, kemudian sekaligus menganut ‘ideologi kritik ideologi¬’-nya Jurgen Habermas dan transformasi basis struktur ala marxian. Atau kalau Aswaja di anggap Ideologi, sudahkan pengertian Aswaja ‘ala PMII mampu memenuhi syarat (sah) sebagai ideologi gerakan?
Kedua, atau selama ini memang PMII memang ‘ditakdirkan’ sebagai organisasi yang berideologi ganda, karena sukanya ambil sana sini? Karena PMII bangga dengan istilah al muhafadhatu ‘ala qadimi sholih wal ahdul bil jadidil ashlah” dan oleh sebab itu ‘berasyik-masyuk’ dalam terhadap istilah liberasi, demokrasi, keadilan, kemanusiaan dan seterusnya? Bukankah istilah itu berasal dari beragam ideologi, sama statusnya dengan ideologi tunggal Pancasila yang memang rangkuman berbagai ideologi ? Ketiga, Atau memang PMII itu unik, dan bekerja diluar kepentingan ideologi itu? Dan untuk itu tidak peduli dengan soal ideologi?
Tapi yang pasti tanpa ideologi, sebuah organisasi pasti akan mengalami kontradiksi internal yang terus menerus. Apakah ini positif atau negatif bagi perkembangan PMII, itu sejarah yang akan menjawab. Yang terakhir adalah dua pilihan yang harus diambil oleh PMII, yakni: untuk membuka kembali perdebatan tentang ideologi dalam PMII. atau mingkin kita tutup sampai di sini perdebatan tentang ideologi PMII, dan organisasi yang ada sekarang kita anggap final. Ataukah membiarkan ideologi PMII selalu dalam tanda kutip (“…..”), artinya biarkanlah ada dua beragam penafsiran dan perdebatan tentang ideologi PMII. Menurut Jaques Derrida kemungkinan terakhirlah yang paling mungkin dilakukan. Tetapi sejak awal PMII keberfihakan
*) Murdianto, Koord Biro Kaderisasi Nasional PB PMII 2005-2007. Direktur Pelaksana pada Institute for Religion and Cultural Studies (IRCāS) Ponorogo dan kepala peneliti pada LP2M INSURI Ponorogo.

Senin, 30 Juni 2014

Paradigma Menggiring Arus


Pengantar
Bulan April dimuka nanti, PMII genap berusia setengah abad. Sebagai organisasi, momentum ‘setengah abad’ itu idealnya tak menjadi perayaan ceremonial belaka. Momentum itu sebaiknya dikontekskan kedalam refleksi sejarah pergerakan kita yang begitu panjang dan berliku. Tahun 1960 adalah penanda deklaratif saja dari kelahiran PMII sebagai organisasi kepemudaan yang mewakili spirit zamannya (zeits geist). Sebagai organisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), maka refleksi pergerakan yang dimaksud adalah juga ‘mikro-history dalam makro-history NU’, dan itu berarti bertemu dalam ‘grand history Islam Nusantara’.
Dus, merefleksikan pergerakan PMII bukanlah untuk menyusun kitab kronologi atau roman sejarah yang ‘heroik dan sentmentil’, namun untuk mengenali konteks dan spirit zaman, energi hidup yang turut serta, nilai yang diperjuangkan dalam laku sehari-hari, serta nalar dan metode pergerakan itu sendiri.
Salah satu ‘subyek materil’ yang menjadi refleksi keluarga besar PMII adalah paradigma gerakan yang selama ini ‘hidup’ dalam gerak PMII. Sudah sering sekali kita mendiskusikan paradigma dalam diskusi-diskusi PMII, dalam kaderisasi formal (sejak Masa Penerimaan Anggota Baru, Pelatihan Kader Dasar, dan Pelatihan Kader Lanjut) maupun dalam ruang kaderisasi non-formal dan informal. Dalam catatan kita, ada dua penyebutan yang disebut sebagai paradigma PMII, yaitu Arus Balik Masyarakat Pinggiran dan Kritis Transformatif. Dalam rujukan, yang pertama, tak terlalu sibuk dengan konstruksi teori-teori sosial kritis pun pemikiran Islam progressif, sedang kedua, berada dalam konstruksi sebaliknya.
Perlu untuk terus mengurai sejarah paradigma di PMII. Forum PKD kali ini, Maret 2010, adalah ruang kesekian untuk membicarakan paradigma yang pernah dipakai di PMII. Warga PMII diseluruh Indonesia membicarakannya sejak rayon hingga PB, dalam diskusi harian hingga rapat-rapat kongres. Apapun statusnya, gagal atau berhasil, pemikiran tentang paradigma adalah buah dari zaman dan angkatan yang wajib diapresiasi bagi kita semua untuk mengenali capaian yang pernah ditempuh. Disitulah kebanggaan sekaligus kewaspadaan kolektif kita atas sejarah dan masa depan pergerakan organisasi ini.  
Refleksi
Arus Balik :
Sekelumit Catatan
Salah satu metode gerak yang begitu populer dalam rumusan Arus Balik adalah Free Market Idea’s (FMI)[1]. FMI adalah metode yang akan menggarap,
Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual dapat berupa kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka merumuskan pemikiran public sebagai bagian dari usaha memasarkan ide ke masyarakat. Kedua, pendelegasian. Dengan meletakkan kekuasaan sebagai patner, maka kekuasaan bukanlah kemewahan, sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi kualitatif dapat dimenangkan melalui kemenangan ide PMII. Ketiga, gerakan Kritisisme, Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa konsep, namun gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternative dari segenap kepengapan dan stagnasi pada wilayah teori maupun praksis.
Jika menyimak tiga wilayah garapan yang dituju oleh FMI dalam Arus Balik itu, maka sebenarnya sudah disadari beberapa problem fundamental dalam usaha mendorong perubahan sosial di Indonesia. Agaknya, Arus Balik lebih condong ke Gramsci ketimbang Marx. Pada wilayah pertama, wilayah tawaran konseptual, lebih dekat dengan gagasan pertarungan hegemoni, yang berkaitan dengan bagaimana PMII menjadi produsen dari pemikiran-pemikiran alternatif ditengah atmosfir intelektual masyarakat Orde Baru. Puncaknya, gagasan-gagasan PMII akan menjadi gagasan hegemonik : yang memimpin secara intelrktual, moral dan spiritual. Arus Balik, dalam konsepsinya, tak menganjurkan revolusi sebagaimana Marx. Hal ini bukan semata karena politik represif Orde Baru terhadap kaum pengikut ‘Mbah Jenggot’, tetapi sebab fundamental, citra diri komunitas PMII yang berbeda dengan citra proletar dan refleksi atas gagal revolusi 1928, 1945 dan 1965 yang dikomandani PKI kala itu.
Kedua, tampaknya Arus Balik sudah menyadari perilaku kekuasaan dan memberi peringatan bahwa kekuasaan bukanlah (untuk) kemewahan. Kekuasaan dikelola dalam kerangka menciptakan ‘konsensi-konsesi kualitatif’, dan bukan dihindari. Sehingga, pengertian negara instrumentalis ala Marx, dimana negara (hanya) menjadi alat dari kelas-kelas berkuasa yang harus dihancurkan dalam revolusi proletariat, tak diadopsi dalam Arus Balik. Sayangnya, pengertian ‘konsesi kualitatif’ disini tak dijabarkan secara jernih dan operasional sehingga bisa menjadi berbeda dalam praktik dan tujuan gerakan.  
Penegasan Citra diri (self image) komunitas dalam Arus Balik, tergambarkan sebagai berikut ini :
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan dan pedesaan dari 27 propinsi Indonesia (kala itu-SA), dengan beragam budaya, suku, etnik dan ras. Warga PMII sebagian besar dibesarkan dalam suasana santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat tradisionalisme yang tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik dan ekonomi yang marginal. Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya, warga PMII menganut ASWAJA sebagai ideology dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu Agama dan humaniora. Sementara itu ilmu-ilmu eksakta tidak mendapat ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.  
Barangkali dengan citra diri seperti itu, maka bisa dimengerti, dalam posisi marginal,  kekosongan kaderisasi kaum profesional juga terjadi, walau bukan berarti tak ada stok itu didaftar kader dan Alumni. Konstruksi citra diri penting dalam membangun gerakan, karena dengan memaknai citra diri beserta segenap kompleksitasnya, maka kita juga mengenali batas kemampuan yang dimiliki, model gerak, serta ruang kemungkinan penciptaan sistem yang sama sekali baru (condition of possibility).    
Namun, pada dasarnya, sebagaimana dikatakan Hery Azumi, kedua paradigma itu memiliki karakteristik yang sama :
pertama,  keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa mengandaikan kompleksitas actor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi.. kedua, paradigm itu hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resistensi tanpa tujuan, yang penting melawan…ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategy (not strategy-driven paradigm)..
Kritik pertama, bahwa Arus Balik tak cukup awas dalam memahami kompleksitas aktor nasional dan keterkaitannya dengan perubahan ditingkat global serta siklus ekonomi dan politik bisa dipahami dalam kerangka teori ketergantungan. Teori ketergantungan (Dependency Theory) lahir dari tradisi ilmu sosial Amerika Latin, yang merupakan reaksi atas kebijakan Industrialisasi Substitusi Import (ISI) dinegara itu. ISI sendiri berusaha untuk menjadi ekonomi negara-negara di Amerika Latin menjadi modern dan kompetitif dimana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi ukuran utama. Dalam perjalanannya, ISI melahirkan otoritarianisme baru disana, dimana kaum borjuasi, militer serta teknokrat menjadi penyangga utamanya. Pada konteks inilah, ketergantungan membasiskan kritiknya : kemiskinan yang tak pergi dari masyarakat dunia ketiga dikarenakan pengintegrasian dirinya kedalam pembagian kerja internasional yang kapitalistik. Sehingga dalil perdagangan internasional berdasarkan ‘keunggulan komparatif-nya Ricardo akan menciptakan keseimbangan dan kemakmuran bangsa-bangsa dunia tak pernah akan nyata dalam praktiknya. Sebagai contoh solusi keluar dari situasi ini, Andre Gunder Frank, salah satu peletak dasar teori ini, menganjurkan revolusi untuk memutus belenggu ketergantungan itu.
Perlu digarisbawahi bahwa teori ketergantungan telah menjadi school of thought dalam teori pembangunan. Didalamnya banyak variasi teori dan saling kritik diantaranya walau kelompok ini membasiskan kritiknya untuk menghajar habis teori pembangunan modernisasi. Karena itu, jika Arus Balik dikontekskan dalam tradisi kritik gaya ketergantungan, maka tak terlalu jelas posisi apa yang dianutnya. Yang agak jelas disini, Arus Balik memahami negara orde baru sebagai jenis negara yang telah mencapai status otonom, dimana birokrasi dan teknokrasi menjadi ruhnya. Pengertian ini juga dikenal dalam ulasan-ulasan teori ketergantungan.
Barangkali disinilah, kekurangan dalam mengenali kompleksitas aktor dan siklus yang menyertainya tak cukup dibaca oleh Arus Balik. Bubarnya negara orde baru adalah puncak pergerakan, kondisi posta-orde baru hampir tak diuraikan, contingency plan jenis apa yang dirumuskan. Namun, bukankah gagal gerakan dinegeri ini, sejak 1966 hingga 1998, dikarenakan oleh tak dimilikinya desain menyeluruh itu ?.    
Kedua, kritik bahwa Arus Balik tak pernah menjadi habitus atau laku hidup anak-anak PMII.  Dengan maksud lain, paradigma ini, paling jauh singgah sebentar dikepala, tapi tak menjadi keutuhan diri kader. Dilokus yang lain, Arus Balik masih hidup sampai hari ini dalam pergerakan PMII. Namun fakta mayoritas mungkin lebih parah dari yang dimaksud Azumi, karena jika kita meluangkan waktu untuk mendalami Arus Balik dengan segenap kompleksitas rujukan gagasannya lalu mengkonfrontirnya dalam ‘real movement PMII’ diseluruh Indonesia, maka kita akan menemukan kondisi berbeda. Alih-alih memahami isi gagasan dan praktiknya, banyak cabang yang bahkan tidak mengenal istilah Arus Balik, tidak tahu kalau paradigma ini pernah ada di PMII. Kendala paling mendasar adalah sistem distribusi pengetahuan yang tidak berjalan baik dan kendala-kendala sosial-teritorial ditiap lokus yang masih menjadi faktor penghambat. Artinya, diluar sistem distribusi pengetahuan, kenyataan ditiap lokus begitu kompleks dan perlu siasat khusus dalam merumuskan pergerakan jenis apa yang mungkin dilakukan; yang compatibel dengan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, Arus Balik juga melupakan faktor sejarah dan geografi kawasan dalam merumuskan paradigma.
Ketiga, kritik bahwa paradigma ini tak didorong oleh strategi (not driven by strategy). Sesederhana apapun, Arus Balik masih punya strategi jangka pendek, sebagaimana tercermin dalam FMI yang ditumpukan dalam tiga medan gerak diatas. Lebih tepat yang dimaksud adalah strategi yang berkelanjutan, strategi yang dalam bahasa Azumi : runtut dalam memperhitungkan faktor-faktor produksi, distribusi dan warring position. Dalam konteks ini, Arus Balik lalu bisa kategorikan ‘reaksioner’.
Lalu, apa tawaran yang diajukan oleh Menggiring Arus buat PMII ?.
Menggiring Arus :
Sekelumit Usaha Untuk Memahami
Menggiring Arus belumlah menjadi paradigma yang diformalkan di PMII, sebagaimana dua paradigma sebelumnya. Paradigma ini belum dicatat di AD/ART organisasi. Nama ini dipakai oleh Hery Haryanto Azumi, mantan ketua umum PB PMII masa khidmat 2006-2008, yang pertama kali di-launching ditengah warga pergerakan ketika berlangsung kongres Bogor. Hery adalah kader PMII Ciputat, yang berbasis di UIN Syarif Hidayatullah, cabang yang punya tradisi tua di PMII.
Hery Azumi menganjurkan agar kita mendefinisikan diri kita (dari PMII, Nahdlatul Ulama, hingga bangsa ini) kedalam gerak sistem dunia. Dia menukil pandangan sistem dunia itu bahwa :
Dalam sudut pandang world-systemizers, dunia dibagi dalam dua wilayah kerja (international of labour), yaitu core dan periphery. Dan diantara keduanya terdapat wilayah transisi (katakanlah wilayah penyangga), yang disebut sebagai semy-periphery. Dilihat dari arus umum produksi, distribusi dan wilayah perebutannya, maka negara-negara yang tergolong dalam periphery adalah penyedia raw materials sekaligus sebagai pasar bagi produksi negara-negara yang disebut sebagai core.
Sistem Dunia adalah gugus teori yang juga merupakan school of thougt dalam tradisi teori pembangunan. Teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein yang tergabung dalam Fernand Braudel di Binghamton University, Inggris. Wallerstein berkesimpulan bahwa dalam sejarah dunia, hanya ada tiga sistem yang mengglobal, yaitu sistem mini, sistem imperium dan sistem kapitalisme. Yang pertama hidup dalam masyarakat tribal, kedua diwujudkan dalam imperium Persia, Mongol, juga Russia, serta ketiga, sebagaimana terwujud dalam zaman sekarang.
Karena itu, maka sistem dunia membicarakan ‘nasib sebuah bangsa’ dalam pertarungan interstate system (dalam ruang pergaulan dan persaingan antar bangsa). Konsekuensi politisnya, eksistensi sebuah pergerakan adalah dalam pertaruhan bangsanya, bukan pertaruhan kelompok-kelompok.
Posisi bangsa kita berada dalam level periphery, terutama sejak gelombang kolonialisme awal 1500-an yang ditandai dengan kemunduran kerajaan Srivijaya, terus Majapahit dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kolonialisme juga merupakan buah atau dark side dari modernisasi yang mulai memasuki masa emasnya sejak 1600-an di Barat. Teknologi pelayaran dan maritim serta militer berkembang pesat disertai sistem ekonomi yang bergeser dari merkantilisme ke kapitalisme. Lalu, berdatanganlah bangsa-bangsa Barat itu keseluruh penjuru Nusantara untuk membangun wilayah pengaruh, misi keagamaan, dan kuasa ekonomi. Sejak saat itu, tak ada lagi ‘Amukti Palapa jilid II’, sebagaimana Amukti Palapa jilid I-nya Mahapatih Gadjah Mada dulu.  
Dus, kita terus saja menjadi bangsa penyedia bahan mentah (raw material’s) yang diperebutkan, sebagai produsen bahan baku maupun pasar komoditi negeri-negeri diatas angin itu (baca : Barat). Posisi politis negara tak lagi jumawa dan perkasa seperti era pembangunanisme, hari ini adalah masa emas korporasi. Sumberdaya pertambangan, air, hingga pelayanan publik takluk dalam pengkondisian korporasi. Hal ini yang dijelaskan dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi dan statistik kemiskinan dan jarang mengurai relasi aktor dan penguasaan dibalik statistik-statistik itu.
Dalam kondisi yang demikian, maka Azumi menawarkan apa yang disebutnya sebagai paradigma berbasis kenyataan (reality-based paradigm). Paradigma berbasis kenyataan adalah paradigma yang memadukan sejarah sebagai bahan penyusun dan kenyataan hari ini. Model paradigm berbasis kenyataan di Indonesia telah lama ditinggalkan, terutama sejak wafatnya Tan Malaka. Bisa dikata, sejarah adalah bahan baku yang menyusun paradigma, bukan semata ‘kisah masa lalu’, namun energi yang hidup dan membentuk masa kini, dimana dalam masa kini inilah, kita bertaruh akan masa depan.
Terkait model gerak, dengan mengadopsi pembagian Wallerstein, Azumi berpendapat sudah tidak tepat PMII mengambil jalan paradigm anti-systemic, yang fokus untuk membalik dan menghancurkan arus global. Bagi Azumi, jenis gerakan ini adalah wujud dari mentalitas xenophobia, serba anti dengan orang asing. Anti-systemic movement akan mengakibatkan kita tak mampu mengambil pertukaran dan interaksi sosial yang bisa berdampak positif terhadap kebutuhan pergerakan kita. Bahkan, yang paling fatal,  dapat terpeleset menjadi korban.      
Sedangkan jika mengambil jalan systemic movement tanpa sikap kritis yang aktif hanya akan menjadikan kita sebagai marsose. Yaitu pergerakan yang dengan sukarela, bahkan tak jarang disertai kebanggaan, untuk melayani maunya bangsa asing. Sesudah itu, kita dihinggapi perasaan sedang naik kelas. Ujungnya, kita hanya akan memperkuat sistem yang sedang berjalan dan menumbalkan bangsa ini.
Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan kader-kader HMI-MPO disekitar tahun 2008 silam, kami pernah menguraikan pendekatan kritik sosiologi atas dunia hari ini sebagai berikut :
George Ritzer, yang terkenal dengan tesis Mcdonaldization of Sciety (1999), dalam karya terbarunya Globalization of Nothing (2006) memperkenalkan satu istilah yang disebutnya dengan grobalisasi. Grobalisasi merupakan kombinasi dari kata growth (Inggris) yang bermakna pertumbuhan, global (mondial) yang bermakna dunia dan akhiran ‘sasi’ yang menjelaskan ‘proses’. Grobalisasi menunjuk pada proses pertumbuhan dan penyebaran mesin ekonomi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia yang mengintegrasikan kawasan-kawasan, negara-bangsa, ke dalam sistem pasar tunggal. Grobalisasi, sebagaimana telah diperingatkan Marx jauh sebelumnya, menegaskan daya produksi dan penghancuran kreatif (creative destruction) sebagai mode produksi ekonomi yang menghancurkan moda produksi pendahulunya (komune primitif, perbudakan dan feodal). Dalam proses yang sama, selain kapitalisme, grobalisasi digerakan oleh Amerikanisme dan ‘prinsip-prinsip mcdonaldization of society’ yang terus meluas dan berkembang melintasi batas negara dan kawasan. Sebagaimana diulas Ivan Hadar (2002), Amerikanisme,yang mencerminkan nilai-nilai amerika, terutama gaya hidup dan kebiasaan, kini telah berkembang menjadi ‘sistem nilai’ sentral dari kampanye AS dengan ‘war againts terorism’.
Untuk konteks Global War Againts Terorism-nya Bush, dalam artikel yang sama dengan kutipan diatas, kami berpendapat :
Bagi George W.Bush dan kaum Hawkish, seperi Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, juga Condo Rice, segala gerakan yang menetang nilai-nilai amerika adalah gerakan teror !!. Dengan begitu, aktifitas pergerakan yang disebut teroris tak lagi sebatas gerakan yang mengeksploitasi simbol-simbol agama sebagai spirit dan orientasi gerakan, sebagaimana Bin Ladin, JI, ataupun Hammas. Terorisme dalam sudut pandang kaum Hawkish Amerika, juga berupa gerakan kebangkitan kaum pribumi bersenjata (indigenous people movement) sebagaimana Zapatista di Meksiko, atau pemerintahan nasional berdaulat yang secara terbuka menyerang kepentingan AS seperti Iran.
Dunia hari ini jelas tidak berjalan dalam satu kendali blok (ideologi, ekonomi dan militer). Sejak bubarnya Soviet ditahun 1980-an, yang menandai berakhirnya bipolarisme global, Amerika Serikat sempat jumawa, namun itu tak lama. Perlahan namun pasti China menyalip laju Amerika dan Russia baru muncul dibawah Vladimir Putin dan geng Siloviki-nya.
Lembaga think-thank Goldman Sachs (Kompas, 19/06/09, suplemen Fokus) di Amerika Serikat, meramalkan dibilangan tahun 2027, pertumbuhan ekonomi China akan menyalip AS, dan ditahun 2050, India yang akan menyamai AS. Selain itu, masih menurut Goldman Sachs, ada sebelas negara lagi (N-11), yakni Indonesia, Mesir, Iran, Korsel, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Turki, Vietnam, dan Filipina yang akan tumbuh pesat sebagai kekuatan ekonomi baru dunia menggeser dominasi G-8 pada tahun 2050-an keatas. Perkembangan ini masih ditambah lagi geliat perlawanan terbuka (open resistance) terhadap ‘imperium pasar bebas Amerika Serikat di NAFTA’ yang dibangun poros Brazil-Kuba-Venezuela-Bolivia di Amerika Selatan lewat poros Mercosur. Tegaslah bahwa perkembangan dunia sekarang makin menegaskan gerak dunia yang multi-kutub.
Terhadap kawasan Asia-Pasifik, Amerika dan China sedang bertarung memperkukuh kendali ekonominya. Amerika mengembangkan blok kerjasama yang disebut Trans Pacific Patnership (TPP) sedang China hadir dengan China-Asean Free Trade Area (CA-FTA). Sebenarnya, jika sedikit mengurai lagi sejarah perdagangan dikawasan Asia Tenggara, hubungan China dan kawasan ini sudah berlangsung berabad-abad. Demikian juga interaksi ekonomi Asia Tenggara dengan Amerika Tengah (Acapulco, Meksiko), yang dipelopori oleh pelaut-pelaut Spanyol lewat Manila kala itu. Yang menjadi soal sekarang adalah, sejauhmana Asia Tenggara diuntungkan dengan kerjasama perdagangan ini.
Lalu, bertumpu pada pada kompleksitas diatas, pilihan apa yang ideal ditempuh PMII ? Azumi menganjurkan kita mencoba model non-systemic movement yang di-pribumisasi-nya dengan istilah Menggiring Arus, yaitu model pergerakan yang :
Berjalan didalam  system yang tengah beroperasi tetapi tidak bekerja untuk untuk system tersebut sambil menciptakan condition of possibilities untuk membangun system yang sama sekali berbeda..
Untuk menciptakan ‘kondisi bagi kelahiran sistem yang baru itu’, tak cukup lagi berjalan dengan model single front, sebagaimana tercermin dalam riwayat pergerakan selama ini. Single front yang dimaksud bukan dalam pengertian ‘tanpa koalisi’, tetapi lebih pada produksi, distribusi dan warring position diluar pengertian yang ekonomistik. Dalam kebutuhan di PMII, maka kaderisasi menjadi kunci yang harus terus diperbaiki secara kualitatif guna menciptakan stok kader yang memiliki multi-kapasitas dan mampu bertarung dalam kondisi multi medan tanpa harus berkembang menjadi saling mangsa dan saling membinasakan.
Wawasan dan cara padang geo-strategi (geo-ekonomi dan geo-politik) sangat dibutuhkan dalam konteks dunia yang demikian. Khususnya untuk mengenali sejarah, kompleksitas aktor, set of interest, dan manuver dan rumusan permainan yang menghubungkan negara-negara menurut kontur geografi dan peta perebutan sumberdaya alam. Dalam percapakan geopolitik, dunia hari ini sedang menyepakati ‘the great game’ yang mengambil medannya diwilayah Eurasia (irisan Eropa dan Asia), dimana bertumpu pada perebutan energi disekitar wilayah teluk (Gulf Area’s). Dikawasan ini, semua negara maju bertarung kepentingan, baik yang mewarisi semangat Anglo-Saxon (UKUSA), semangat imperium ala Shanghai Five (SCO), pun persatuan Eropa Lama gaya (MEE). Karena itu, isu teroris, HAM, dan demokrasi akan terus menghajar masyarakat Islam.   
Terkait dinamika kontemporer, pada sebuah kesempatan, kami pernah menulis, potret perkembangan kader PMII hari ini telah jauh berbeda dengan yang digambarkan Arus Balik :
Salah satu gejala yang berkembang ditubuh PMII adalah pola gerak yang membawa PMII untuk terus eksis dan meninggalkan gerbong jamaah besar Nahdliyin. Kultur Hibrida yang berkembang di PMII, atau anak muda NU pada umumnya, mesti diakui sebagai buah dari penerapan strategy Free Market Idea’s (FMI) yang membuka ruang-ruang baru bagi perburuan wacana, gagasan, dan pemikiran-pemikiran baru dan menjadi ikon dalam dunia pemikiran anak muda di Indonesia. Akan tetapi, semangat perburuan intelektualisme itu, dalam beberapa segi justru menafikan eksistensi dan warisan tradisi pemikiran yang tumbuh didalam kultur Nahdlatul Ulama (NU), kalau bukan malah menyerang NU dengan stigmatisasi yang juga digunakan oleh para orientalis (Indonesianis) seperi : tradisionalis, kolot, TBC, dll. Walau gejala seperti ini bisa dipahami sebagai bagian dari proses internal warga Nahdliyin—sebagaimana juga ‘arus wacana yang membela NU’ sedang marak berkembang—PMII belum merumuskan model desaign yang operationalable juga kompatibel dengan gerak besar NU. Sejauh ini PMII baru tiba pada sikap-sikap normatif-deklaratif, seperti dalam deklarasi-deklarasi, rumusan konstitusi, dan lain-lain.
Jika potret seperti ini bisa digunakan sebagai rujukan melihat perkembangan kader-kader PMII, maka menciptakan kader yang multi-talenta adalah kebutuhan yang harus diperjuangkan tanpa harus membuang total capaian-capaian pergerakan sebelumnya. Kita masih harus meminjam kaidah fiqih yang sering diingatkan oleh ulama-ulama NU : ‘ Mukhafadzah ‘ala alQadim asShalih wa akhdzu bi alJadid alAslah’ yang bermakna memelihara sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dalam hemat kami, Menggiring Arus jika dijadikan sebagai model, maka nalar paradigma ini berkehendak untuk menghimpun seluruh sumberdaya dan energi pergerakan, dari level politik hingga sosial, struktur dan kultur, atas-bawah-kanan-kiri kedalam satu operasi yang by-design saling menguatkan, bukan saling mengamputasi. Dus, definisi kelompok yang dimaksud adalah dalam batasan aktor semata-mata, bukan sebagai tujuan yang tidak diabdikan terhadap komunitas yang lebih besar diluar dirinya. Perbaikan kehidupan bangsa adalah capaian tertinggi sebuah pergerakan. Kalau ini yang dipakai, maka pengertian kelompok yang diacu lebih mewakili jenis vanguard, bukan jenis yang elit.
Vanguard adalah kelompok yang bekerja merintis jalan bagi lahirnya masyarakat baru, bukan menjadi kelompok yang menikmati puncak-puncak kuasa politik dan kekayaan material lalu melupakan asal-usul dan meninggalkan bangsanya dalam kubangan kemelaratan. Disinilah titik tegang yang akan dijumpai jika pergerakan kita telah mampu naik level dalam penciptaan sistem masyarakat yang baru.
Penutup
Masih banyak pertanyaan yang mengendap dalam benak kita, diantaranya : pertama, bukan saja soal uraian tentang paradigma di PMII, tetapi juga koherensinya dengan NDP dan Aswaja sebagai manhajul fikri PMII agar kita menemukan ‘keutuhan wawasan dan keutuhan citra diri’. Kedua, bagaimanakah memahami Menggiring Arus, atau jika dipandang perlu, merevisi paradigma ini, lalu menerapkannya kedalam local front kita masing-masing. Wallahualam bi shawab.
      Subronto Aji