Pages

Jumat, 06 September 2013

paradigma arus balik 1



I.    LATAR BELAKANG
A.    Kondisi Sosio-Politik Bangsa
Restrukturisasi politik yang dilakukan Orde Baru telah menghasilkan sebuah format politik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan Asia.  Ciri-ciri itu antara lain adalah 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya kemudian “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk kaum intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Kondisi sosio-politik bangsa semenjak satu dasawarsa kelahiran PMII (1970-an) sampai sekarang dapat disimpulkan menjadi dua; adanya hegemoni penafsiran realitas sosial oleh pemerintah dan terjadinya proses dealiranisasi partai politik dan depolitisasi aliran.
Hegemoni penafsiran realitas sosial ini ditandai dengan empat kenyataan. Pertama,  budaya politik Orde Baru didasarkan pada elisitas dibanding sikap terbuka dan populis dalam setiap perekrutan elite penguasa. Selama ini tidak ada transparansi sistem rekruitmen anggota DPR-MPR, menteri dan posisi strategis pemerintah lainnya yang memungkinkan setiap individu dapat melakukannya dengan demokratis. Perekrutan elite pemerintah selalu didasarkan pada sistem patronase dan jaringan perkoncoan yang sangat tertutup serta tidak dapat menjadi kontrol publik. Masyarakat umum tidak mempunyai ruang bebas untuk membicarakan pikiran secara transparan, sehingga terjadilah rasa dan sikap-sikap a-demokratis di antara semua komponen bangsa.
Kedua, semua agenda dan wacana perpolitikan nasional selalu dimulai dari negara. Dengan kata lain, semua persoalan sosial-politik harus menegara, sehingga tidak memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk tidak membicarakan apa yang diagendakan oleh negara. Dengan lima pilar dasarnya – lembaga kepresidenan, ABRI, Birokrasi, Pers dan Agamawan – pemerintah dengan leluasa membuat agenda nasional, dan mana yang harus menjadi wacana publik. Sehingga walau ada organisasi ataupun individu-individu yang kuat integritasnya melakukan counter wacana akan tetap tenggelam dalam arus besar penyeragaman wacana pemerintah.
Ketiga, kuatnya hegemoni struktur negara atas independensi rakyat. Semua pembangunan disentralisir dalam satu titik pusat yang mengakibatkan kapasitas, kemampuan serta keunikan daerah hilang dan tidak mempunyai daya tawar untuk melakukan pembangunan sesuai dengan keragaman lokalitas yang dimilikinya. Dengan sentralisasi, aparat struktur kekuasaan selalu legitimate dalam mengklaim kepentingan diri dan kelompoknya menjadi kepentingan rakyat banyak.
Keempat, komponen bangsa ataupun negara cenderung menggunakan legitimasi kuantitas massa untuk menuntut kepentingan politik. Kepentingan politik, baik berupa representasi kekuasaan maupun tindakan penekanan selalu menggunakan alur dan ranah kekuatan massa yang dimilikinya. Perebutan dan percaturan politik tidak lagi didasarkan pada kapasitas dan kualitas individu yang semestinya dapat memperkuat bangunan institusi negara yang demokratik.
Proses deideologisasi dan dealiranisasi partai-politik dan depolitisasi aliran sebagai gejala umum dari negara berkembang pasca kemerdekaan. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II, berkembang dengan pesat kecenderungan dalam percaturan politik: deideologisasi dalam lingkup sangat luas. Idologi-ideologi besar di dunia harus memberikan tempat pada pemunculan kehidupan politik tanpa ideologi. Kalaupun ideologi masih dipertahankan itu hanyalah semacam formalitas yang tidak meyakinkan siapapun.
Setelah Indonesia merdeka, bukan utama berupa nasionalisme yang berkembang, melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum, yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan diluar nasionalisme sebagai ideologi. Paham kebangsaan sementara itu hanyalah gambaran samar dari kobaran api nasionalisme semula. Ia hanyalah sekedar kekuatan pengikat  yang tidak memiliki daya dobrak apapun.
Nasionalisme lama yang berkembang dalam era 30-an sampai 50-an dalam perkembangan selanjutnya mengalami penurunan, bahkan perlahan-lahan memudar digantikan oleh perbenturan antar golongan dan antar kelompok. Walau dalam era “Orde Lama” , dicoba untuk dibangun kembali seperti dengan keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, terlahirnya slogan Nasakom sebagai ideologi gabungan guna merangsang semangat kesatuan yang akan mendukung persatuan bangsa yang paling dalam akhirnya juga mengalami kemacetan ideologis, dan terakhir dengan memunculkan “Nekolim” (neokolonialisme), sebagai ideologi untuk mengatasi bahaya dari luar juga tidak banyak menolong.
Kelahiran Orde Baru merupakan kelahiran masa yang sama sekali menghilangkan perdebatan dan kemacetan ideologi, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Lama. Dengan memunculkan tema pembangunan (developmentalisme), telah mensubordinasikan paham kebangsaan kepada sesuatu yang sama sekali tidak ideologis; yaitu pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sebagai kuasi ideologi menghasilkan teknokrasi yang secara umum memang bebas ideologi.
Dalam kondisi demikian muncul aliansi baru, yaitu antara kaum profesi, birokrat pemerintahan dan militer. Aliansi ini, dengan sendirinya untuk kepentingan kongkrit akan rekayasa masyarakat guna mendukung program pembangunan ekonomi secara massif, menggeser kedudukan ideologi, yang selama masa sebelumnya menjadi tumpuan kehidupan politik. Orde Baru, disadari atau tidak telah menurunkan suhu ideologis dalam kehidupan politik. Berbagai pendekatan substitutif ditampilkan untuk menghilangkan ketergantungan terlalu tinggi kepada ideologi, dari dorongan olahraga hingga terbentuknya kelompok-kelompok minat di kalangan generasi muda dalam berbagai kehidupan.
Kekuatan partai-partai politik dengan ideologi lama (Nasionalisme, Sosialisme dan Islam) dipotong untuk digantikan dengan munculnya partai-partai politik baru (PPP dan PDI) dan organisasi politik Golkar, yang dengan sengaja menunda untuk sementara pengembangan ideologis kehidupan politik secara keseluruhan. Titik terjauh (klimaks) dari upaya ini adalah dihilangkannya ideologi di luar Pancasila, melalui asas tunggal.
Fenomena di atas telah melahirkan kenyataan-kenyataan lain, yaitu, pertama, lemahnya kekuatan partai politik. Partai-partai politik (PPP dan PDI) yang semestinya mampu memerankan daya tawar masyarakat tidak lagi mempunyai “taring” yang dapat menekan. Dihilangkannya ideologi partai dan digantikannya adu konsep dan program pembangunan membuat partai-partai politik hanya mampu menilai keberhasilan pembangunan yang ada. Kelaupun mengadakan koreksi atas jalannya pembangunan, itu-pun mampet dalam penawaran konsep pembangunan yang masih diragukan pengalaman aplikasinya. Ketidakmampuan partai politik di atas, mengakibatkan mandulnya lembaga-lembaga yang semestinya mampu menyuarakan hari nurani rakyat, seperti DPR dan MPR. Kenyataan ini membuat pincangnya sistem politik demokrasi di Indonesia. Partai politik yang semestinya menjadi saluran aspirasi rakyat, kehilangan garis perjuangan sebagai akibat dari hilangnya ideologi. Partai politik tidak lagi mempunyai garis perjuangan yang baku, sebagaimana yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, sebagai akibat langsungnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan politik di luar lembaga politik yang ada. Dalam sejarah Orde Baru, kekuatan-kekuatan politik silih berganti menemani, melegitimasi dan menjadi mediator serta menopang proses pembangunan yang ada. Pada awal-awal Orde Baru, pemerintah lebih memberikan tempat kepada CSIS sebagai think-thank pembangunan ekonomi sampai akhir PJP I. Memasuki PJP II, pemerintah mulai memberikan ruang kepada kelompok Islam yang tergabung dalam ICMI dengan CIDES sebagai think thank-nya. Demikian juga dengan ormas lainnya, mengalami silih berganti sebagai “teman” yang melegitimasi sekaligus memberikan masukan kritis-konstruktif bagi perjalanan pembangunan. Dengan kata lain, di saat memudarnya kekuatan partai politik, muncul kekuatan politik yang memerankan sebagai kelompok penekan (pressure group) dan mempunyai daya tawar cukup tinggi.
Ketiga, semakin kuatnya peran kelompok teknokrat yang berafiliasi dengan birokrat pemerintahan dan militer. Sebagaimana menjadi wataknya, pembangunan (developmentalisme) merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial, dengan mengangankan terjadinya gerakan selangkah demi selangkah menuju higher modernity, sebuah tatanan kemajuan ekonomi dan teknologi sebagaimana yang telah dicapai oleh negara-negara industri maju. Dalam konteks Indonesia (dan negara-negara berkembang lainnya), developmentalisme dipahami hanya sebagai “general improvement in the standard of living”.
Karena pembangunan hanya dipahami sebagai upaya untuk mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi, maka sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan profesional dari kalangan teknokrat dan ekonom yang ditopang oleh para birokrat (sebagai pelaksana keputusan pembangunan) dan militer (sebagai institusi yang mengamankan jalannya pembangunan). Kelompok yang berada di luar garis ini, dengan sendirinya tersingkir dari proses modernisasi tersebut. Padahal, yang menjadi permasalahan utama dalam perubahan sosial adalah bagaimana mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan secara partisipatoris.
Keempat, munculnya ideologi-ideologi baru sebagai manifestasi dari nilai-nilai tradisional dan keagamaan. Ketika diberlakukan deideologisasi terhadap partai politik, memang cukup memperoleh hasil: lemahnya peran partai politik. Tetapi di balik keberhasilan tersebut mendorong munculnya ideologi-ideologi alternatif, yang sama sekali jauh dari ideologi resmi pada masa lalu yang sangat kultural. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penjelasan pembangunan yang serba positivistik, sehingga memunculkan solidaritas baru dalam masyarakat dengan menggunakan ideologi sebagai penggeraknya.
Reideologisasi ini muncul dengan dua pola perkembangan utama. Di satu sisi, langkanya ikatan ideologis dan kuatnya rekayasa teknokratis memunculkan kecenderungan menampilkan semacam ideologi alternatif yang diambil dari berbagai ideologi masa lalu, baik nasionalisme, agama maupun ikatan komunal. Di sisi lain, munculnya ideologi baru tersebut dalam bentuk yang sangat kultural, yaitu dengan merangkai nilai sehingga membentuk sebuah ideologi yang lengkap dan utuh. Oleh karena itu, ideologi baru tersebut juga tidak berupa ideologi politik, melainkan ideologi kultural seperti tuntutan dihidupkannya nilai-nilai tradisional dan agama yang membutuhkan kerangka ideologis. Tuntutan diperkuat dan diwujudkannya civil society yang akhir-akhir ini semakin menggelembung adalah bagian dari agenda yang juga membutuhkan kerangka ideologis yang tidak mudah dirumuskan.
Kebutuhan untuk menumbuhkan civil society dalam rangka mewujudkan negara demokrasi adalah kesadaran akan lemahnya segenap komponen masyarakat berhadapan dengan negara, sehingga kehidupan bangsa Indonesia diwarnai oleh marginalisasi rakyat terus-menerus di hadapan negara. Akibat yang langsung dapat dilihat adalah, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya ruang publik bagi kontrol masyarakat, dan lain-lainnya, yang ujungnya adalah kebobrokan sistem sosial, politik dan budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa Indonesia, belum mampu memberikan kontribusi kualitatif-konsepsional bagi terwujudnya masyarakat bangsa yang mandiri, berdaya dan kreatif, hal ini diperparah oleh peran agama yang sangat normatif dan formal. Hampir dapat dipastikan bahwa kegairahan beragama di Indonesia tidak sebanding dengan pelaksanaan substansi batas-batas kepantasan hidup sebagai bangsa, terkadang malah terlibat dalam legitimasi berbagai penyimpangan dan penyelewengan struktural.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang secara real memiliki basis massa (grass-root), seperti NU, secara bertahap dan pasti telah mengambil peran penguatan rakyat (civil society), meskipun belum utuh secara konsepsional. Masuknya tema HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum ke dalam wacana agama adalah bukti bagi prospek peran agama di masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar