I.
LATAR BELAKANG
A.
Kondisi Sosio-Politik Bangsa
Restrukturisasi politik yang dilakukan Orde Baru telah
menghasilkan sebuah format politik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh
berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan
Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah
1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya kemudian
“mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya
peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi
dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam
masyarakat – termasuk kaum intelektual, 4) diterapkannya model politik
eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan
politik dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh
dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Kondisi sosio-politik bangsa semenjak satu dasawarsa
kelahiran PMII (1970-an) sampai sekarang dapat disimpulkan menjadi dua; adanya
hegemoni penafsiran realitas sosial oleh pemerintah dan terjadinya proses
dealiranisasi partai politik dan depolitisasi aliran.
Hegemoni penafsiran realitas sosial ini ditandai dengan empat
kenyataan. Pertama, budaya politik Orde Baru didasarkan pada elisitas
dibanding sikap terbuka dan populis dalam setiap perekrutan elite penguasa.
Selama ini tidak ada transparansi sistem rekruitmen anggota DPR-MPR, menteri
dan posisi strategis pemerintah lainnya yang memungkinkan setiap individu dapat
melakukannya dengan demokratis. Perekrutan elite pemerintah selalu didasarkan
pada sistem patronase dan jaringan perkoncoan
yang sangat tertutup serta tidak dapat menjadi kontrol publik. Masyarakat umum
tidak mempunyai ruang bebas untuk membicarakan pikiran secara transparan,
sehingga terjadilah rasa dan sikap-sikap a-demokratis di antara semua komponen
bangsa.
Kedua, semua agenda dan wacana perpolitikan nasional selalu dimulai
dari negara. Dengan kata lain, semua persoalan sosial-politik harus menegara,
sehingga tidak memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk tidak membicarakan
apa yang diagendakan oleh negara. Dengan lima pilar dasarnya – lembaga
kepresidenan, ABRI, Birokrasi, Pers dan Agamawan – pemerintah dengan leluasa
membuat agenda nasional, dan mana yang harus menjadi wacana publik. Sehingga
walau ada organisasi ataupun individu-individu yang kuat integritasnya
melakukan counter wacana akan tetap
tenggelam dalam arus besar penyeragaman wacana pemerintah.
Ketiga, kuatnya hegemoni struktur negara atas independensi rakyat.
Semua pembangunan disentralisir dalam satu titik pusat yang mengakibatkan
kapasitas, kemampuan serta keunikan daerah hilang dan tidak mempunyai daya
tawar untuk melakukan pembangunan sesuai dengan keragaman lokalitas yang
dimilikinya. Dengan sentralisasi, aparat struktur kekuasaan selalu legitimate dalam mengklaim kepentingan
diri dan kelompoknya menjadi kepentingan rakyat banyak.
Keempat, komponen bangsa ataupun negara cenderung menggunakan
legitimasi kuantitas massa untuk menuntut kepentingan politik. Kepentingan
politik, baik berupa representasi kekuasaan maupun tindakan penekanan selalu
menggunakan alur dan ranah kekuatan massa yang dimilikinya. Perebutan dan
percaturan politik tidak lagi didasarkan pada kapasitas dan kualitas individu
yang semestinya dapat memperkuat bangunan institusi negara yang demokratik.
Proses deideologisasi dan dealiranisasi partai-politik dan
depolitisasi aliran sebagai gejala umum dari negara berkembang pasca
kemerdekaan. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II, berkembang dengan pesat
kecenderungan dalam percaturan politik: deideologisasi dalam lingkup sangat
luas. Idologi-ideologi besar di dunia harus memberikan tempat pada pemunculan
kehidupan politik tanpa ideologi. Kalaupun ideologi masih dipertahankan itu
hanyalah semacam formalitas yang tidak meyakinkan siapapun.
Setelah Indonesia merdeka, bukan utama berupa nasionalisme
yang berkembang, melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum,
yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan diluar nasionalisme sebagai
ideologi. Paham kebangsaan sementara itu hanyalah gambaran samar dari kobaran
api nasionalisme semula. Ia hanyalah sekedar kekuatan pengikat yang tidak memiliki daya dobrak apapun.
Nasionalisme lama yang berkembang dalam era 30-an sampai
50-an dalam perkembangan selanjutnya mengalami penurunan, bahkan perlahan-lahan
memudar digantikan oleh perbenturan antar golongan dan antar kelompok. Walau
dalam era “Orde Lama” , dicoba untuk dibangun kembali seperti dengan keluarnya
Dekrit 5 Juli 1959, terlahirnya slogan Nasakom sebagai ideologi gabungan guna
merangsang semangat kesatuan yang akan mendukung persatuan bangsa yang paling
dalam akhirnya juga mengalami kemacetan ideologis, dan terakhir dengan
memunculkan “Nekolim” (neokolonialisme), sebagai ideologi untuk mengatasi
bahaya dari luar juga tidak banyak menolong.
Kelahiran Orde Baru merupakan kelahiran masa yang sama sekali
menghilangkan perdebatan dan kemacetan ideologi, sebagaimana yang terjadi pada
masa Orde Lama. Dengan memunculkan tema pembangunan (developmentalisme), telah mensubordinasikan paham kebangsaan kepada
sesuatu yang sama sekali tidak ideologis; yaitu pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi sebagai kuasi ideologi menghasilkan teknokrasi yang secara
umum memang bebas ideologi.
Dalam kondisi demikian muncul aliansi baru, yaitu antara kaum
profesi, birokrat pemerintahan dan militer. Aliansi ini, dengan sendirinya
untuk kepentingan kongkrit akan rekayasa masyarakat guna mendukung program
pembangunan ekonomi secara massif, menggeser kedudukan ideologi, yang selama
masa sebelumnya menjadi tumpuan kehidupan politik. Orde Baru, disadari atau
tidak telah menurunkan suhu ideologis dalam kehidupan politik. Berbagai
pendekatan substitutif ditampilkan untuk menghilangkan ketergantungan terlalu
tinggi kepada ideologi, dari dorongan olahraga hingga terbentuknya
kelompok-kelompok minat di kalangan generasi muda dalam berbagai kehidupan.
Kekuatan partai-partai politik dengan ideologi lama
(Nasionalisme, Sosialisme dan Islam) dipotong untuk digantikan dengan munculnya
partai-partai politik baru (PPP dan PDI) dan organisasi politik Golkar, yang
dengan sengaja menunda untuk sementara pengembangan ideologis kehidupan politik
secara keseluruhan. Titik terjauh (klimaks) dari upaya ini adalah
dihilangkannya ideologi di luar Pancasila, melalui asas tunggal.
Fenomena di atas telah melahirkan kenyataan-kenyataan lain,
yaitu, pertama, lemahnya kekuatan
partai politik. Partai-partai politik (PPP dan PDI) yang semestinya mampu
memerankan daya tawar masyarakat tidak lagi mempunyai “taring” yang dapat
menekan. Dihilangkannya ideologi partai dan digantikannya adu konsep dan
program pembangunan membuat partai-partai politik hanya mampu menilai
keberhasilan pembangunan yang ada. Kelaupun mengadakan koreksi atas jalannya
pembangunan, itu-pun mampet dalam penawaran konsep pembangunan yang masih
diragukan pengalaman aplikasinya. Ketidakmampuan partai politik di atas,
mengakibatkan mandulnya lembaga-lembaga yang semestinya mampu menyuarakan hari
nurani rakyat, seperti DPR dan MPR. Kenyataan ini membuat pincangnya sistem
politik demokrasi di Indonesia. Partai politik yang semestinya menjadi saluran
aspirasi rakyat, kehilangan garis perjuangan sebagai akibat dari hilangnya
ideologi. Partai politik tidak lagi mempunyai garis perjuangan yang baku,
sebagaimana yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, sebagai akibat langsungnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan
politik di luar lembaga politik yang ada. Dalam sejarah Orde Baru,
kekuatan-kekuatan politik silih berganti menemani, melegitimasi dan menjadi
mediator serta menopang proses pembangunan yang ada. Pada awal-awal Orde Baru,
pemerintah lebih memberikan tempat kepada CSIS sebagai think-thank pembangunan ekonomi sampai akhir PJP I. Memasuki PJP
II, pemerintah mulai memberikan ruang kepada kelompok Islam yang tergabung
dalam ICMI dengan CIDES sebagai think
thank-nya. Demikian juga dengan ormas lainnya, mengalami silih berganti
sebagai “teman” yang melegitimasi sekaligus memberikan masukan
kritis-konstruktif bagi perjalanan pembangunan. Dengan kata lain, di saat
memudarnya kekuatan partai politik, muncul kekuatan politik yang memerankan
sebagai kelompok penekan (pressure group)
dan mempunyai daya tawar cukup tinggi.
Ketiga, semakin kuatnya peran kelompok teknokrat yang berafiliasi
dengan birokrat pemerintahan dan militer. Sebagaimana menjadi wataknya,
pembangunan (developmentalisme)
merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial, dengan
mengangankan terjadinya gerakan selangkah demi selangkah menuju higher modernity, sebuah tatanan
kemajuan ekonomi dan teknologi sebagaimana yang telah dicapai oleh
negara-negara industri maju. Dalam konteks Indonesia (dan negara-negara
berkembang lainnya), developmentalisme dipahami hanya sebagai “general improvement in the standard of
living”.
Karena pembangunan hanya dipahami sebagai upaya untuk
mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi, maka sangat membutuhkan tenaga-tenaga
terampil dan profesional dari kalangan teknokrat dan ekonom yang ditopang oleh
para birokrat (sebagai pelaksana keputusan pembangunan) dan militer (sebagai
institusi yang mengamankan jalannya pembangunan). Kelompok yang berada di luar
garis ini, dengan sendirinya tersingkir dari proses modernisasi tersebut.
Padahal, yang menjadi permasalahan utama dalam perubahan sosial adalah
bagaimana mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan secara
partisipatoris.
Keempat, munculnya ideologi-ideologi baru sebagai manifestasi dari
nilai-nilai tradisional dan keagamaan. Ketika diberlakukan deideologisasi
terhadap partai politik, memang cukup memperoleh hasil: lemahnya peran partai
politik. Tetapi di balik keberhasilan tersebut mendorong munculnya
ideologi-ideologi alternatif, yang sama sekali jauh dari ideologi resmi pada
masa lalu yang sangat kultural. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penjelasan
pembangunan yang serba positivistik, sehingga memunculkan solidaritas baru
dalam masyarakat dengan menggunakan ideologi sebagai penggeraknya.
Reideologisasi ini muncul dengan dua pola perkembangan utama.
Di satu sisi, langkanya ikatan ideologis dan kuatnya rekayasa teknokratis
memunculkan kecenderungan menampilkan semacam ideologi alternatif yang diambil
dari berbagai ideologi masa lalu, baik nasionalisme, agama maupun ikatan
komunal. Di sisi lain, munculnya ideologi baru tersebut dalam bentuk yang
sangat kultural, yaitu dengan merangkai nilai sehingga membentuk sebuah
ideologi yang lengkap dan utuh. Oleh karena itu, ideologi baru tersebut juga tidak
berupa ideologi politik, melainkan ideologi kultural seperti tuntutan
dihidupkannya nilai-nilai tradisional dan agama yang membutuhkan kerangka
ideologis. Tuntutan diperkuat dan diwujudkannya civil society yang akhir-akhir ini semakin menggelembung adalah
bagian dari agenda yang juga membutuhkan kerangka ideologis yang tidak mudah
dirumuskan.
Kebutuhan untuk menumbuhkan civil society dalam rangka mewujudkan negara demokrasi adalah
kesadaran akan lemahnya segenap komponen masyarakat berhadapan dengan negara,
sehingga kehidupan bangsa Indonesia diwarnai oleh marginalisasi rakyat
terus-menerus di hadapan negara. Akibat yang langsung dapat dilihat adalah,
lemahnya penegakan hukum, tidak adanya ruang publik bagi kontrol masyarakat,
dan lain-lainnya, yang ujungnya adalah kebobrokan sistem sosial, politik dan
budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa
Indonesia, belum mampu memberikan kontribusi kualitatif-konsepsional bagi
terwujudnya masyarakat bangsa yang mandiri, berdaya dan kreatif, hal ini
diperparah oleh peran agama yang sangat normatif dan formal. Hampir dapat
dipastikan bahwa kegairahan beragama di Indonesia tidak sebanding dengan
pelaksanaan substansi batas-batas kepantasan hidup sebagai bangsa, terkadang
malah terlibat dalam legitimasi berbagai penyimpangan dan penyelewengan
struktural.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang
secara real memiliki basis massa (grass-root),
seperti NU, secara bertahap dan pasti telah mengambil peran penguatan rakyat (civil society), meskipun belum utuh
secara konsepsional. Masuknya tema HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum ke dalam
wacana agama adalah bukti bagi prospek peran agama di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar