Pages

Jumat, 06 September 2013

paradigma arus balik IV



I.       DASAR  FILOSOFI
Filosofi gerakan PMII didasarkan pada dua nilai yang sangat fundamental: liberasi dan independensi. Liberasi merupakan kepercayaan dan komitmen kepada pentingnya – dengan berbagai metode dan cara – untuk mencapai pembebasan tiap-tiap individu. Praktek dan pemikiran liberasi mempunyai dua tema pokok. Pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang dari ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat.
Dari pemikiran di atas, minimal ada tiga tujuan dari liberasi yang harus dikembangkan. Pertama, memberikan kebebasan bereskpresi setiap individu. Kedua, memberikan kepercayaan kepad individu dan masyarakat untuk mengekspresika kebebasannya agar berdaya guna bagi diri dan masyarakat sekelilingnya. Ketiga, bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah dapat memprotek (melindungi) kebebasan berekspresi dan kemauan untuk bebas dari masyarakat.
Liberasi didasari oleh adanya kemampuan (syakilah) dan kekuatan (wus’a) yang ada dalam setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan dirinya tanpa harus terkungkung oleh pemikiran dan kultur dan struktur yang ada di sekitarnya. Pengembangan kemampuan dan kekuatan tersebut harus dipersembahkan untuk mewujudkan etika sosial dalam masyarakat, terutama keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawwah) dan demokrasi (asy-syura).
Kebebasan dalam arti yang umum mempunyai dua arti: kebebasan dari (freedom from) dan kebebasan untuk (freedom for). Kebebasan dari merupakan kebebasan dari belenggu alam. Oleh karena itu, perjuangan kebebasan ini dalam sepanjang sejarahnya menunjukkan bahwa manusia lebih bebas, seperti dari dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan, ketidaktahuan dan takhayul dibanding dengan sejarah manusia sebelumnya. Demikian juga kebebasan dari belenggu institusi-institusi apapun, terutama olitik. Sedangkan kebebasan untuk (freedom for) berbuat sesuatu pada dasarnya sebagai fungsi untuk mencapai tingkat kesejahteraan seluruh manusia di muka bumi. Dalam hal ini, capaiannya adalah menuju tercapainya Ushul al khams (lima prinsip dasar) yang meliputi: Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs wa al-Irdl, Hifdz al-Nasl dan Hifdz al-mal. Oleh karena itu, kebebasan sebenarnya mempunyai tiga tujuan yang utama, yaitu kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi individu, kebebasan sifat kehendak, dan kebebasan dalam arti sosio-politik.
Kebebasan sebagai kesempuranaan eksistensi individu menempatkan manusia – individu maupun bangsa – sebagai makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk menyempurnakan dan melaksanakan eksistensi dirinya dengan tercapainya kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang merdeka dan berdiri sendiri inilah yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti yang luhur. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup manusia adalah kepribadian atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa sehingga terbebas dari beraneka ragam alienasi yang menekannya baik berupa halangan, ikatan, paksan, dan kebebasan; dan bebas untuk mencapai kehidupan yang utuh, tidak tercela, berdikari dan kreatif. Kebebasan dipergunakan untuk mengungkapkan kemandirian manusia di segal bidang kehidupan,  terutama untuk menunjukkan puncak-puncak tertinggi kehidupan moral dan beragama. Karena, dalam diri manusia masih ada dimensi kebenarandan kemerdekaan yang lebih mendalam, yakni dimensi religius yang membebaskan.
Kebebasan berkehendak adalah merupakan suatu kemampuan manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arah dan arti hidup dan karyanya serta kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus menerus “ditawarkan” dalam kehidupan manusia. Kebebasan berkehendak merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan, dan dengan demikian menentukan apakah seseorang akan bertindak atau tidak.
Kebebasan berkehendak ini bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai kesempuranaan eksistensi. Sarana ini diperuntukkan bagi pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan kesempurnaan dirinya. Maka untuk membebaskan diri dari perbudakan alam, struktur dan sistem ekonomi-sosial ataupun adat-istiadat dan institusi-institusi keagamaan yang bersifat menindas, diperlukan kemampuanuntuk menilai situasi penindasan itu sambil membandingkan dengan apa yang sebenarnya dicita-citakan sebagai kesempurnaan eksistensi diri. Hanya dengan kemampuan semacam inilah, manusia dapat memberikan arti dan arah perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak bukan berarti kesewenang-wenangan dalam berbuat. Kebebasan berkehendak berperan sebagai prinsip keteraturan, keterarahan, dan keterlibatan yang akan mencegah diombang-ambingkannya oleh perjalanan kehidupannya sendiri.
Sedangkan kebebasan dalam arti sosio-politik merupakan syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasan untuk menyempurnakan eksistensi dan kebebasan berkehendak.
Kebebasan dalam arti ini meliputi kebebasan berfikir, bertempat tinggal dan berhimpun, berorganisasi, beragama, berkomunikasi dan lain sebagainya. Kebebasan ini merupakan situasi-kondisi obyektif kehidupan yang diperlukan demi pembebasan manusia agar dapat mencari tujuan hidupnya dengan penentuan jati diri.
Dari penerapan liberasi tersebut diharapkan akan memunculkan individu-individu yang independen, yang tetap menghargai independensi individu yang lainnya sehingga membentuk sikap interdependensi antar individu. Situasi demikian inilah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individu-individu yang mempunyai ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individ-individu yang mempunyai ide-ide cemerlang ini sangat kondusif memuculkan free market of ideas (pasar bebas ide) dalam segala wilayah, khususnya di lingkungan PMII. Independensi diri juga akan berimplikasi kepada penghargaan pribadi-pribadi yang pada ujungnya menghasilkan pribadi otonom yang tidak mudah diukur berdasarkan komunal maupun kelompok primordial. Dengan penghargaan yang tinggi terhadap otonomi pribadi juga memungkinkan lahirnya sebuah masyarakat yang tidak sekedar diukur berdasarkan representasi atau “gepokan-gepokan” umat. Dan walhasil demokratisasi bisa berjalan dengan baik dengan memperkecil adanya semangat sektarian-primordial.
Secara organisatoris, liberasi berarti membongkar kekakuan struktur organisasi menuju kekuatan gerak kultural; mengalihkan kekuatan massa ke kekuatan individu dan menggeliat dari hegemoni kekuatan negara menuju kekuatan masyarakat. Dari sini pula harus ada pendobrakan pengertian organisasi yang semula diartikan sebagai organisasi kader dan massa, bergeser kepada semangat paguyuban yang menghargai individu. Paguyuban yang dimaksud di sini adalah PMII dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka dan independen, dengan pola hubungan dan komunikasi yang cair dan terlepas dari kekakuan formalitas organisasi. Melalui semangat paguyuban, ukuran-ukuran kualitas menjadi indikator yang dibangun melalui spirit organisasi. Bukan ukuran gerombolan dan gepokan.
Hal ini tergambar dengan jelas dalam Deklarasi Murnajati. Deklarasi Murnajati yang menghasilkan sikap independensi dan dirumuskan pada 14 Juli 1972 merupakan titik awal PMII yang tidak ingin terikat dalam sikap dan tindakan kepada siapapun dan hanya komited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Deklarasi Independensi merupakan manifestasi kesadaran PMII yang meyakini sepenuhnya tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Independensi PMII dimaksudkan dalam rangka mendinamisir dan mengembangkan potensi kulturil yang bersumber pada penghayatan dan pengamalan nlai-nilai Islam untuk terbentuknya pribadi Muslim yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan. Pengembangan kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan cita-cita pergerakan. Pada akhirnya, dengan independensi tersedia kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap bagi cita-cita perjuangan organisasi.
Oleh karena itu, independensi secara organisatoris bukanlah sesederhana pemahaman tentang “melepaskan diri secara struktural dai NU”, melainkan bagaimana PMII dapat memasuki medan juang yang lebih luas dan substantif. Independensi PMII berarti juga kemampuan menjaga hubungan secara sejajar dengan segenap kelompok, agar tetap selalu menjadi kekuatan transformasi, termasuk menggeliat dari arus penyeragaman bangsa. Hal ini sangat penting artinya apabila PMI ingin benar-benar memperkuat daya tawarnya dengan memberdayakan masyarakat rakyat (civil society), yang tercermin dalam rekayasa sosialnya.

0 komentar:

Posting Komentar