I.
DASAR FILOSOFI
Filosofi gerakan PMII didasarkan pada dua nilai yang sangat
fundamental: liberasi dan independensi. Liberasi merupakan kepercayaan dan
komitmen kepada pentingnya – dengan berbagai metode dan cara – untuk mencapai
pembebasan tiap-tiap individu. Praktek dan pemikiran liberasi mempunyai dua
tema pokok. Pertama tidak menyetujui
adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang dari ekspansi dan hegemoni negara terhadap
keinginan bebas individu dan masyarakat.
Dari pemikiran di atas, minimal ada tiga tujuan dari liberasi
yang harus dikembangkan. Pertama,
memberikan kebebasan bereskpresi setiap individu. Kedua, memberikan kepercayaan kepad individu dan masyarakat untuk
mengekspresika kebebasannya agar berdaya guna bagi diri dan masyarakat
sekelilingnya. Ketiga, bagaimana
kebijakan-kebijakan pemerintah dapat memprotek (melindungi) kebebasan
berekspresi dan kemauan untuk bebas dari masyarakat.
Liberasi didasari oleh adanya kemampuan (syakilah) dan kekuatan (wus’a)
yang ada dalam setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu mempunyai
kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan dirinya tanpa harus terkungkung oleh
pemikiran dan kultur dan struktur yang ada di sekitarnya. Pengembangan
kemampuan dan kekuatan tersebut harus dipersembahkan untuk mewujudkan etika
sosial dalam masyarakat, terutama keadilan (al-adalah),
persamaan (al-musawwah) dan demokrasi
(asy-syura).
Kebebasan dalam arti yang umum mempunyai dua arti: kebebasan dari (freedom from) dan kebebasan untuk
(freedom for). Kebebasan dari merupakan kebebasan dari belenggu
alam. Oleh karena itu, perjuangan kebebasan ini dalam sepanjang sejarahnya
menunjukkan bahwa manusia lebih bebas, seperti dari dari penyakit, kelaparan,
ketidakamanan, ketidaktahuan dan takhayul dibanding dengan sejarah manusia
sebelumnya. Demikian juga kebebasan dari belenggu institusi-institusi apapun,
terutama olitik. Sedangkan kebebasan untuk
(freedom for) berbuat sesuatu pada
dasarnya sebagai fungsi untuk mencapai tingkat kesejahteraan seluruh manusia di
muka bumi. Dalam hal ini, capaiannya adalah menuju tercapainya Ushul al khams (lima prinsip dasar) yang
meliputi: Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs wa
al-Irdl, Hifdz al-Nasl dan Hifdz
al-mal. Oleh karena itu, kebebasan sebenarnya mempunyai tiga tujuan yang
utama, yaitu kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi individu, kebebasan
sifat kehendak, dan kebebasan dalam arti sosio-politik.
Kebebasan sebagai kesempuranaan eksistensi individu
menempatkan manusia – individu maupun bangsa – sebagai makhluk yang mempunyai
kecenderungan untuk menyempurnakan dan melaksanakan eksistensi dirinya dengan
tercapainya kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang
merdeka dan berdiri sendiri inilah yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti
yang luhur. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup manusia adalah kepribadian
atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa sehingga terbebas dari beraneka
ragam alienasi yang menekannya baik berupa halangan, ikatan, paksan, dan
kebebasan; dan bebas untuk mencapai kehidupan yang utuh, tidak tercela,
berdikari dan kreatif. Kebebasan dipergunakan untuk mengungkapkan kemandirian
manusia di segal bidang kehidupan,
terutama untuk menunjukkan puncak-puncak tertinggi kehidupan moral dan
beragama. Karena, dalam diri manusia masih ada dimensi kebenarandan kemerdekaan
yang lebih mendalam, yakni dimensi religius yang membebaskan.
Kebebasan berkehendak adalah merupakan suatu kemampuan
manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arah dan arti hidup dan karyanya
serta kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan
nilai-nilai yang terus menerus “ditawarkan” dalam kehidupan manusia. Kebebasan
berkehendak merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan, dan dengan demikian
menentukan apakah seseorang akan bertindak atau tidak.
Kebebasan berkehendak ini bukanlah tujuan, melainkan sarana
untuk mencapai kesempuranaan eksistensi. Sarana ini diperuntukkan bagi
pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan
kesempurnaan dirinya. Maka untuk membebaskan diri dari perbudakan alam,
struktur dan sistem ekonomi-sosial ataupun adat-istiadat dan
institusi-institusi keagamaan yang bersifat menindas, diperlukan kemampuanuntuk
menilai situasi penindasan itu sambil membandingkan dengan apa yang sebenarnya
dicita-citakan sebagai kesempurnaan eksistensi diri. Hanya dengan kemampuan
semacam inilah, manusia dapat memberikan arti dan arah perbuatan yang
dilakukannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak bukan
berarti kesewenang-wenangan dalam berbuat. Kebebasan berkehendak berperan
sebagai prinsip keteraturan, keterarahan, dan keterlibatan yang akan mencegah
diombang-ambingkannya oleh perjalanan kehidupannya sendiri.
Sedangkan kebebasan dalam arti sosio-politik merupakan
syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia
dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasan untuk menyempurnakan
eksistensi dan kebebasan berkehendak.
Kebebasan dalam arti ini meliputi kebebasan berfikir,
bertempat tinggal dan berhimpun, berorganisasi, beragama, berkomunikasi dan
lain sebagainya. Kebebasan ini merupakan situasi-kondisi obyektif kehidupan
yang diperlukan demi pembebasan manusia agar dapat mencari tujuan hidupnya
dengan penentuan jati diri.
Dari penerapan liberasi tersebut diharapkan akan memunculkan
individu-individu yang independen, yang tetap menghargai independensi individu
yang lainnya sehingga membentuk sikap interdependensi antar individu. Situasi
demikian inilah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk
rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individu-individu
yang mempunyai ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana
yang diangan-angankan bersama. Individ-individu yang mempunyai ide-ide
cemerlang ini sangat kondusif memuculkan free
market of ideas (pasar bebas ide) dalam segala wilayah, khususnya di
lingkungan PMII. Independensi diri juga akan berimplikasi kepada penghargaan
pribadi-pribadi yang pada ujungnya menghasilkan pribadi otonom yang tidak mudah
diukur berdasarkan komunal maupun kelompok primordial. Dengan penghargaan yang
tinggi terhadap otonomi pribadi juga memungkinkan lahirnya sebuah masyarakat
yang tidak sekedar diukur berdasarkan representasi atau “gepokan-gepokan” umat.
Dan walhasil demokratisasi bisa berjalan dengan baik dengan memperkecil adanya
semangat sektarian-primordial.
Secara organisatoris, liberasi berarti membongkar kekakuan
struktur organisasi menuju kekuatan gerak kultural; mengalihkan kekuatan massa
ke kekuatan individu dan menggeliat dari hegemoni kekuatan negara menuju
kekuatan masyarakat. Dari sini pula harus ada pendobrakan pengertian organisasi
yang semula diartikan sebagai organisasi kader dan massa, bergeser kepada
semangat paguyuban yang menghargai individu. Paguyuban yang dimaksud di sini
adalah PMII dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka
dan independen, dengan pola hubungan dan komunikasi yang cair dan terlepas dari
kekakuan formalitas organisasi. Melalui semangat paguyuban, ukuran-ukuran
kualitas menjadi indikator yang dibangun melalui spirit organisasi. Bukan
ukuran gerombolan dan gepokan.
Hal ini tergambar dengan jelas dalam Deklarasi Murnajati.
Deklarasi Murnajati yang menghasilkan sikap independensi dan dirumuskan pada 14
Juli 1972 merupakan titik awal PMII yang tidak ingin terikat dalam sikap dan
tindakan kepada siapapun dan hanya komited
dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang
berlandaskan Pancasila. Deklarasi Independensi merupakan manifestasi kesadaran
PMII yang meyakini sepenuhnya tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir
dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Independensi PMII dimaksudkan dalam rangka mendinamisir dan
mengembangkan potensi kulturil yang bersumber pada penghayatan dan pengamalan
nlai-nilai Islam untuk terbentuknya pribadi Muslim yang berbudi luhur dan
bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam
mengamalkan ilmu pengetahuan. Pengembangan kreatifitas, keterbukaan dalam sikap
dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan
bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk
memperjuangkan cita-cita pergerakan. Pada akhirnya, dengan independensi
tersedia kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap bagi cita-cita
perjuangan organisasi.
Oleh karena itu, independensi secara organisatoris bukanlah
sesederhana pemahaman tentang “melepaskan diri secara struktural dai NU”,
melainkan bagaimana PMII dapat memasuki medan juang yang lebih luas dan
substantif. Independensi PMII berarti juga kemampuan menjaga hubungan secara
sejajar dengan segenap kelompok, agar tetap selalu menjadi kekuatan transformasi,
termasuk menggeliat dari arus penyeragaman bangsa. Hal ini sangat penting
artinya apabila PMI ingin benar-benar memperkuat daya tawarnya dengan
memberdayakan masyarakat rakyat (civil
society), yang tercermin dalam rekayasa sosialnya.
0 komentar:
Posting Komentar