A.
Identitas Diri
Latar belakang warga PMII, sebagaimana masyarakat bangsa
Indonesia pada umumnya, secara antropologis hidup dan dibesarkan dalam budaya
masyarakat agraris yang indegeneuos
(asli). Padahal, dalam budaya dan mental agraris, tersirat sifat dasar seperti
menerima kenyataan dan keadaan dengan tanpa reserve (nrimo ing pandhum), feodal, dan lain sebagainya.
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan
dan pedesaan yang tersebar di 27 propinsi Indonesia, dengan ragam budaya, suku,
etnis dan ras. Warga PMII sebagian besar juga dibesarkan dalam suasana dan
tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat “tradisionalisme” yang
tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik
dan ekonomi yang marginal. Di sisi lain, warga PMII berasal dari “elite”
setempat, baik sebagai anak kyai, guru mengaji maupun imam masjid.
Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya,
warga PMII menganut Aswaja sebagai ideologi dogmatis dengan karakter sejarah
yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan).
Basis teologi warga PMII pada awalnya berdiri dengan karakter sejarah yang
statis-romantis. Ruang dinamika kesejarahannya terhenti pada perdebatan yang
bercorak transendental-metafisik dan tidak empirik.
Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk
dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama dan sosial humaniora.
Sementara itu, ilmu-ilmu eksakta dan teknologi tidak mendapat ruang sehingga
tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.
Secara politik dan ekonomi, PMI menjadi bagian dari – dan
lekat – dengan masyarakat yang berada dalam marjinalitas tertentu. Kesadaran
sebagai bagian dari keompok pinggiran ini dapat dijadikan roh, ideologi dan
spirit dari gerakan yang dilakukannya. Dan dari kesadaran ini pula akan
memunculkan identifikasi kultural dan rekayasa sosial yang spesifik dan sesuai
dengan kondisi latar belakang di atas.
Dari pembacaan kondisi sosio-politik bangsa dan identitas
diri kemudian muncul kebutuha akan adanya kerangka teori datau paradigma
gerakan PMI. Karena, di satu sisi PMII harus mengadakan penyadaran dan
pemberdayaan dari kondisi kultural-internalnya, di sisi lain juga harus
membebaskan sistem sosio-politik yang hegemonik menuju masyarakat bebas,
merdeka, adil dan makmur. Penyadaran,
pemberdayaan dan pembebasan ini sangat terkait dengan nilai keimanan yang
dianut oleh warga PMII, yaitu Ahlussunnah
waljama’ah.
PMII sebagai bagian dari student
movement di Indonesia telah mengukir berbagai gerakan pencerahan dan
pengembangan moralitas, khususnya di kalangan mahasiswa dan kaum muda. Melalui struggle for value building, PMI diakui menjadi kekuatan demokratisasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari keluarga besar gerakan Islam, PMII dengan
totalitas kebangsaannya, secara produktif menjaga pilar-pilar pemikiran
pluralisme. Keislaman PMII adalah pribumisasi ajaran universal Islam, dengan
keteguhan total kepada segenap khazanah Islam dan bangsa Indonesia.
Komitmen keislaman dan keindonesiaan menyatu
gairah penggalian lebih lanjut spiritualitas dan substansi ajaran.
Walhasil, identitas PMII terletak pada tiga ruang gerak.
Pertama, intelektualitas, kedua religiusitas karena PMII, Islam, dan yang
ketiga adalah kebangsaan. Dengan menyadari identitas diri inilah kemudian PMII
dituntut untuk mampu kreatif dalam menggeliat dari arus penyeragaman yang dalam
sejarahnya pernah menjebak PMII menjadi sangat politis.
0 komentar:
Posting Komentar