Pages

Jumat, 06 September 2013

paradigma arus balik II



A.    Identitas Diri
Latar belakang warga PMII, sebagaimana masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya, secara antropologis hidup dan dibesarkan dalam budaya masyarakat agraris yang indegeneuos (asli). Padahal, dalam budaya dan mental agraris, tersirat sifat dasar seperti menerima kenyataan dan keadaan dengan tanpa reserve (nrimo ing pandhum), feodal, dan lain sebagainya.
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan dan pedesaan yang tersebar di 27 propinsi Indonesia, dengan ragam budaya, suku, etnis dan ras. Warga PMII sebagian besar juga dibesarkan dalam suasana dan tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat “tradisionalisme” yang tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik dan ekonomi yang marginal. Di sisi lain, warga PMII berasal dari “elite” setempat, baik sebagai anak kyai, guru mengaji maupun imam masjid.
Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya, warga PMII menganut Aswaja sebagai ideologi dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Basis teologi warga PMII pada awalnya berdiri dengan karakter sejarah yang statis-romantis. Ruang dinamika kesejarahannya terhenti pada perdebatan yang bercorak transendental-metafisik dan tidak empirik.
Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama dan sosial humaniora. Sementara itu, ilmu-ilmu eksakta dan teknologi tidak mendapat ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.
Secara politik dan ekonomi, PMI menjadi bagian dari – dan lekat – dengan masyarakat yang berada dalam marjinalitas tertentu. Kesadaran sebagai bagian dari keompok pinggiran ini dapat dijadikan roh, ideologi dan spirit dari gerakan yang dilakukannya. Dan dari kesadaran ini pula akan memunculkan identifikasi kultural dan rekayasa sosial yang spesifik dan sesuai dengan kondisi latar belakang di atas.
Dari pembacaan kondisi sosio-politik bangsa dan identitas diri kemudian muncul kebutuha akan adanya kerangka teori datau paradigma gerakan PMI. Karena, di satu sisi PMII harus mengadakan penyadaran dan pemberdayaan dari kondisi kultural-internalnya, di sisi lain juga harus membebaskan sistem sosio-politik yang hegemonik menuju masyarakat bebas, merdeka, adil dan makmur.  Penyadaran, pemberdayaan dan pembebasan ini sangat terkait dengan nilai keimanan yang dianut oleh warga PMII, yaitu Ahlussunnah waljama’ah.
PMII sebagai bagian dari student movement di Indonesia telah mengukir berbagai gerakan pencerahan dan pengembangan moralitas, khususnya di kalangan mahasiswa dan kaum muda. Melalui struggle for value building, PMI diakui menjadi kekuatan demokratisasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari keluarga besar gerakan Islam, PMII dengan totalitas kebangsaannya, secara produktif menjaga pilar-pilar pemikiran pluralisme. Keislaman PMII adalah pribumisasi ajaran universal Islam, dengan keteguhan total kepada segenap khazanah Islam dan bangsa Indonesia. Komitmen  keislaman dan keindonesiaan menyatu gairah penggalian lebih lanjut spiritualitas dan substansi ajaran.
Walhasil, identitas PMII terletak pada tiga ruang gerak. Pertama, intelektualitas, kedua religiusitas karena PMII, Islam, dan yang ketiga adalah kebangsaan. Dengan menyadari identitas diri inilah kemudian PMII dituntut untuk mampu kreatif dalam menggeliat dari arus penyeragaman yang dalam sejarahnya pernah menjebak PMII menjadi sangat politis.

0 komentar:

Posting Komentar