Pages

Jumat, 06 September 2013

paradigma arus balik III



I.       DASAR TEOLOGI
Dalam sejarahnya, teologi ditekankan melalui pendekatan intelektual terhadap iman, ditekankan pula nada iman yang penuh kepasrahan. Pada saat sekarang perlu menekankan iman pada tindakan, dalam dunia dan sejarahnya, yang memberi motivasi dan mengarahkan kegiatan hidup muslim dalam sejarah dunia ini. Sejalan dengan itu pemahaman mengenai Tuhan harus dimulai dari fakta historis. Tauhid hendaknya diletakkan sebagai tindakan. Kalau tidak, dikhawatirkan terjadi seperti pada perkembagan saat ini; agama hanya terletak pada institusi dan simbol belaka. Teologi mengarahkan kepada upaya melahirkan konstruksi masyarakat ideal, masyarakat yang tidak dijamin oleh kekerasan, melainkan kehidupan bersama yang dibangun atas dasar kasih sayang (rahman-rahim) tanpa pamrih, adil tanpa kekerasan.
Dengan Ahlussunnah wal-jama’ah yang dipahami melalui manhaj al-fikr, menuntut adanya perumusan ulang terhadap posisi manusia, baik di hadapan Tuhan maupun di sisi manusia dan makhluk lainnya. Rumusan teologi ini tidak hanya membicarakan dan membela Tuhan, baik yang berkaitan dengan keesaan, kekuasaan, keadilan maupun sifat-sifat lainnya. Tetapi juga memberikan cakrawala yang luas dari aplikasi sifat-sifat tersebut dalam kehidupan nyata manusia, seperti bagaimana sifat keadilan Tuhan diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam tatanan dunia modern. Jadi rumusan teologi ini tidak hanya membela Tuhan yang “di sana”, tetapi juga membela manusia dan alam yang “di sini”, sebab membela manusia di bumi adalah bagian utama dari membela Allah. Berkebudayaan dalam bentuk kreasi, mencipta dan berperadaban adalah bagian dari proses manusia berusaha menjadi hamba sejati Tuhan (Abdullah).
Mengenal Allah, bukanlah hal yang jauh dari diri manusia, sebab Allah ada dalam diri kemanusiaan itu, sifat-sifat keilahian ada dalam diri manusia sebagai wakil Allah (Khalifat al-Allah). Implikasinya berwujud pada penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan penuh tanggung jawab. Baik secara individu melalui perjuangan melahirkan kreatifitas, mencipta, untuk menebarkan kesejahteraan, maupun penciptaan masyarakat yang otonom, mandiri dan tidak mudah digiring oleh kekuatan hegemonik apapun, baik antar sesama manusia maupun dalam bentuk kebendaan.
Rumusan dasar di atas, disebut sebagai Teologi Antroposentrisme-Transendental, sebuah teologi yang meletakan manusia sebagai subjek utama (khalifatullah fi al-Arld) yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi, yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu-poros keilahian. Manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Rekayasa kebudayaan sepenuhnya berada dalam tanggung jawab manusia, berdasarkan inspirasi, petunjuk dan nilai-nilai ketuhanan. Karena tingginya derajat dan nilai kemanusiaan ini, maka manusia memiliki tugas ketuhanan untuk melahirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak ada penguasaan orang satu atas lainnya.
Tugas khalifatullah dalam rekayasa sosial bukan berarti reduksi melalui kemajuan tatanan yang material-temporal, melainkan satu tata baru yang dinamis. Segala bentuk kehidupan kebudayaan melalui pelaksanaan pencerahan yang berjalan, tidak boleh dimutlakkan dan “mandeg”, melainkan harus berkembang terus menuju kepenuhan. Memang proses pencerahan terjadi dalam peristiwa sejarah, tetapi tidak berhenti di sana dan terus-menerus harus dikritik, agar kekhalifahan tidak menjadi penuhanan atas manusia dan kebendaan.
Pemahaman Islam sebagai agama tauhid, kehadirannya di dunia tidak terlepas dari teologi pembebasan. Islam datang untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah,  tiada Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang menempatkan kepercayaan kepada Allah SWT secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbedaan manusia dengan berbagai jenis kelamin, status sosial, warna kulit, dan lain sebagainya.
Teologi ini tidak menempatkan manusia di antara dua titik yang kontradiktif: sebagai khalifatullah yang mempunyai tugas memakmurkan dengan keadilan, dengan sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah. Akan tetapi, justru meletakkan manusia dalam totalitas khalifatullah sekaligus kesatuan dari proses abdullah.
Teologi antroposentrisme-transendental menempatkan manusia pada tiga dimensinya. Pertama, manusia ditempatkan pada kedudukan kemakhlukan yang sangat tinggi, yang termaktub dari kerangka penciptaannya oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan keadaan (ahsan al-taqwim). Penempatan manusia pada tingkat yang tinggi ini pada dasarnya menuntut pula penghargaan pada nilai-nilai dasarkehidupan manusia yang sesuai dengan martabatnya: pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun kolektif, pelestarian hak mengembangkan pemikiran sendiri tanpa takut terhadap ancaman pengekangan, hak mengemukakan pendapat secara terbuka dan pengokohan hak untuk mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lainnya. Kedua, menempatkan manusia dengan memberikan hak sebagai pengganti Allah (khalifah Allah) di muka bum, sebuah fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan manusia untuk memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu mensejahterakan manusia secara menyeluruh dan tuntat (rahmatan li al-alamin). Posisi demikian mengharuskan manusia menjadi subyek perdamaian, kasih sayang, saling kasih, asah-asih-asuh dengan sesamanya tanpa mempertimbangkan perbedaan apapun secara lintas kultur dan lintas etnis. Manusia juga memiliki tugas untuk menentang pola kehidupan bermasyarakat yang ekspolitatif, tidak manusiawi dan tidak berasaskan keadilan dalam arti yang mutla. Ketiga, menempatkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri, akali dan persepsi kejiwaan untuk hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan belaka.
Kemampuan ini disalurkan melalui sejulah pranata keagamaan, seperti teori filsafat, hukum, pendidikan, agama, ke dalam jalur penumbuhan pandangan dunia yang mementingkan keseimbangan antara hak-hak perorangan dan kebutuhan masyarakat manusia dalam penyelenggaraan hidup kolektif yang berwatak humanis-universal.
Penempatan manusia sebagai pusat kebudayaan ini, mengandung pemahaman bahwa manusia memiliki hak pemuliaan dan hak pelebihan seperti yang telah dijamin sendiri oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai haq al karomah dan haq al-fadlillah.

0 komentar:

Posting Komentar