I.
DASAR TEOLOGI
Dalam sejarahnya, teologi ditekankan melalui pendekatan
intelektual terhadap iman, ditekankan pula nada iman yang penuh kepasrahan.
Pada saat sekarang perlu menekankan iman pada tindakan, dalam dunia dan
sejarahnya, yang memberi motivasi dan mengarahkan kegiatan hidup muslim dalam
sejarah dunia ini. Sejalan dengan itu pemahaman mengenai Tuhan harus dimulai
dari fakta historis. Tauhid hendaknya diletakkan sebagai tindakan. Kalau tidak,
dikhawatirkan terjadi seperti pada perkembagan saat ini; agama hanya terletak
pada institusi dan simbol belaka. Teologi mengarahkan kepada upaya melahirkan
konstruksi masyarakat ideal, masyarakat yang tidak dijamin oleh kekerasan,
melainkan kehidupan bersama yang dibangun atas dasar kasih sayang (rahman-rahim) tanpa pamrih, adil tanpa
kekerasan.
Dengan Ahlussunnah wal-jama’ah yang dipahami melalui manhaj al-fikr, menuntut adanya
perumusan ulang terhadap posisi manusia, baik di hadapan Tuhan maupun di sisi
manusia dan makhluk lainnya. Rumusan teologi ini tidak hanya membicarakan dan
membela Tuhan, baik yang berkaitan dengan keesaan, kekuasaan, keadilan maupun
sifat-sifat lainnya. Tetapi juga memberikan cakrawala yang luas dari aplikasi
sifat-sifat tersebut dalam kehidupan nyata manusia, seperti bagaimana sifat
keadilan Tuhan diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam
tatanan dunia modern. Jadi rumusan teologi ini tidak hanya membela Tuhan yang
“di sana”, tetapi juga membela manusia dan alam yang “di sini”, sebab membela
manusia di bumi adalah bagian utama dari membela Allah. Berkebudayaan dalam
bentuk kreasi, mencipta dan berperadaban adalah bagian dari proses manusia
berusaha menjadi hamba sejati Tuhan (Abdullah).
Mengenal Allah, bukanlah hal yang jauh dari diri manusia,
sebab Allah ada dalam diri kemanusiaan itu, sifat-sifat keilahian ada dalam
diri manusia sebagai wakil Allah (Khalifat
al-Allah). Implikasinya berwujud pada penegakkan nilai-nilai kemanusiaan
dan hak asasi manusia dengan penuh tanggung jawab. Baik secara individu melalui
perjuangan melahirkan kreatifitas, mencipta, untuk menebarkan kesejahteraan,
maupun penciptaan masyarakat yang otonom, mandiri dan tidak mudah digiring oleh kekuatan hegemonik apapun,
baik antar sesama manusia maupun dalam bentuk kebendaan.
Rumusan dasar di atas, disebut sebagai Teologi
Antroposentrisme-Transendental, sebuah teologi yang meletakan manusia
sebagai subjek utama (khalifatullah fi
al-Arld) yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi, yang berjalan dan
berproses hidup dalam sumbu-poros keilahian. Manusia memiliki kemerdekaan dan
kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Rekayasa
kebudayaan sepenuhnya berada dalam tanggung jawab manusia, berdasarkan
inspirasi, petunjuk dan nilai-nilai ketuhanan. Karena tingginya derajat dan
nilai kemanusiaan ini, maka manusia memiliki tugas ketuhanan untuk melahirkan
sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak ada penguasaan orang satu atas
lainnya.
Tugas khalifatullah
dalam rekayasa sosial bukan berarti reduksi melalui kemajuan tatanan yang
material-temporal, melainkan satu tata baru yang dinamis. Segala bentuk
kehidupan kebudayaan melalui pelaksanaan pencerahan yang berjalan, tidak boleh
dimutlakkan dan “mandeg”, melainkan harus berkembang terus menuju kepenuhan.
Memang proses pencerahan terjadi dalam peristiwa sejarah, tetapi tidak berhenti
di sana dan terus-menerus harus dikritik, agar kekhalifahan tidak menjadi
penuhanan atas manusia dan kebendaan.
Pemahaman Islam sebagai agama tauhid, kehadirannya di dunia
tidak terlepas dari teologi pembebasan. Islam datang untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah, tiada Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang menempatkan kepercayaan
kepada Allah SWT secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan
kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbedaan manusia dengan berbagai
jenis kelamin, status sosial, warna kulit, dan lain sebagainya.
Teologi ini tidak menempatkan manusia di antara dua titik
yang kontradiktif: sebagai khalifatullah
yang mempunyai tugas memakmurkan dengan keadilan, dengan sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah.
Akan tetapi, justru meletakkan manusia dalam totalitas khalifatullah sekaligus kesatuan dari proses abdullah.
Teologi antroposentrisme-transendental menempatkan manusia
pada tiga dimensinya. Pertama,
manusia ditempatkan pada kedudukan kemakhlukan yang sangat tinggi, yang
termaktub dari kerangka penciptaannya oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki
kesempurnaan keadaan (ahsan al-taqwim).
Penempatan manusia pada tingkat yang tinggi ini pada dasarnya menuntut pula
penghargaan pada nilai-nilai dasarkehidupan manusia yang sesuai dengan
martabatnya: pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun kolektif,
pelestarian hak mengembangkan pemikiran sendiri tanpa takut terhadap ancaman
pengekangan, hak mengemukakan pendapat secara terbuka dan pengokohan hak untuk
mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lainnya. Kedua, menempatkan manusia dengan
memberikan hak sebagai pengganti Allah (khalifah
Allah) di muka bum, sebuah fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan manusia
untuk memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu
mensejahterakan manusia secara menyeluruh dan tuntat (rahmatan li al-alamin). Posisi demikian mengharuskan manusia
menjadi subyek perdamaian, kasih sayang, saling kasih, asah-asih-asuh dengan
sesamanya tanpa mempertimbangkan perbedaan apapun secara lintas kultur dan
lintas etnis. Manusia juga memiliki tugas untuk menentang pola kehidupan
bermasyarakat yang ekspolitatif, tidak manusiawi dan tidak berasaskan keadilan
dalam arti yang mutla. Ketiga,
menempatkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri, akali dan
persepsi kejiwaan untuk hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan
belaka.
Kemampuan ini disalurkan melalui sejulah pranata keagamaan,
seperti teori filsafat, hukum, pendidikan, agama, ke dalam jalur penumbuhan
pandangan dunia yang mementingkan keseimbangan antara hak-hak perorangan dan
kebutuhan masyarakat manusia dalam penyelenggaraan hidup kolektif yang berwatak
humanis-universal.
Penempatan manusia sebagai pusat kebudayaan ini, mengandung
pemahaman bahwa manusia memiliki hak pemuliaan dan hak pelebihan seperti yang
telah dijamin sendiri oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai haq al karomah dan haq
al-fadlillah.
0 komentar:
Posting Komentar